Senin, 16 Desember 2013

AKHIR HAYAT RASULALLAH SAW (PERIODE MADINAH)


AKHIR HAYAT RASULALLAH SAW
(PERIODE MADINAH)
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Islam Periode Klasik I
Dosen pengampu : Dra. Ummi Kulsum, M.Hum



Disusun oleh:
1.          Nafi’ Rotus Sholikah  (13120068)
2.          Yasir Abdul Aziz        (13120037)




UIN SUNAN KALIJAGA
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM / A
SEMESTER I
2013

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang  Masalah.
            Dengan penuh kerendahan hati dan ketulusan jiwa, kami susun makalah ini untuk memenuhi tugas. Yang Maha Mulia Rasulullah SAW. Beliau, yang kepadanya Al-Qur’an diturunkan, yang telah menumpas kemusyrikan dan penyembahan berhala, serta membimbing umat manusia bagaimana berbuat untuk dunia yang fana, sekaligus untuk akhirat yang baka.
            Cahaya hidayah, yang sempurna Akhlaqnya, unggul pikirannya, dan kokoh aqidahnya. Tak ada cela padanya bagi siapa pun yang hendak mencelanya; tak ada ujung bagi siapa pun yang hendak menyanjungnya, dan tak ada anak tangga yang lebih tinggi bagi siapa pun yang hendak mengunggulinya.
            Maka dengan mempelajari tentang akhir hayat Rasulullah SAW, kita umat muslim akan mengetahui tentang Haji Wada’ yang disebut Haji Tamam atau Haji Kamal (kesempurnaan). Di dalam hajinya beliau juga menyampaikan khutbah untuk yang terakhir kalinya. Adapun wahyu terakhir yang diturunkan kepadanya, serta ketika beliau menghadapi sakratul maut.
            Kita sebagai umatnya, harus tahu bahwa betapa Mulianya Nabi Muhammad SAW. Yang senantiasa memuji dan menjunjung Allah ta’ala. Semoga kita semua diberi syafa’at di akhirat nanti.

B.     Rumusan Masalah.
Permasalahan yang kami angkat pada makalah ini adalah :
1.      Pengertian Haji Wada’ dan pelaksanaan Haji Wada’?
2.       Apa saja yang disampaikan Rasulullah SAW dalam Khutbah Wada’?
3.      Wahyu terakhir yang diturunkan?
4.      Bagaimana Rasulullah menghadapi sakratul maut?
5.      Bagaimanakah reaksi kaum muslimin terhadap wafatnya Rasulullah SAW?
6.      Bagaimanakah pengurusan jenazah Rasulullah SAW?








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Haji Wada’.
Pada bulan Dzulhijjah tahun ke-10 H (maret 632 M) Rasulullah SAW menunaikan Haji Wada’. Haji ini disebut haji wada’, karena dalam haji ini Rasulullah SAW menyampaikan kata perpisahannya dengan para sahabatnya.
1.      Nama lain untuk Haji Wada’
Haji yang dilakukan Rasulullah SAW ini disebut dengan Haji Tamam atau Haji Kamal (kesempurnaan), karena di tengah pelaksanaan haji inilah yaitu pada saat Rasulullah SAW sedang wukuf di Arafah turun firman Allah ta’ala :“Pada hari ini telah aku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu” (QS. Al-Maa’idah [5] : 3).
2.      Keberangkatan Rasulullah
Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, istri Nabi SAW, dia berkata: “Rasulullah SAW berangkat haji pada tanggal 25 Dzulqa’dah. Tatkala sampai di Sarif, beliau menyuruh orang-orang supaya nanti bertahallul ‘umrah saja, kecuali orang yang menggiring hadya. Waktu itu Rasulullah SAW dan beberapa orang lainnya menggiring hadya.”
Kata Ibnu Ishaq dalam periwatannya: “Adapun Rasulullah SAW sendiri langsung menunaikan haji, di mana beliau memperlihatkan kepada orang-orang cara-cara ibadah haji (manasik) mereka dan diajarkan pula kepada mereka sunnah-sunnah haji mereka.”[1]
3.      Pelaksanaan Haji Wada’
Sebelum berangkat, Rasulullah SAW mempercayakan kota Madinah kepada Abu Dujanah As-Sa’idi. Ada pula yang mengatakan, kepada Siba’ bin Urfujah Al-Ghifari. Dalam keberangkatan kali in  i semua istri beliau ikut serta. Beliau masuk Mekkah pada Shubuh hari Ahad, tanggal 4 Dzulhijjah.Pendapat yang kuat mengatakan bahwa Nabi berangkat dari Madinah pada hari Sabtu 25 Dzulqa’dah (23 Februari 632 M). Beliau sampai di Sarif pada sore hari Ahad, hari ke-10, dan masuk Mekkah pada hari Selasa.Keberangkatan Rasulullah SAW kali ini disertai 90.000 orang. Ada pula yang mengatakan, lebih dari itu. Adapun yang berhaji saat itu lebih dari itu, karena penduduk Mekkah dan orang-orang Islam yang datang dari Yaman pun ikut bergabung bersama mereka.
Selanjutnya, Rasulullah SAW melaksanakan hajinya dengan memperlihatkan kepada orang-orang cara-cara ibadah haji (manasik) mereka, dan mengajarkan kepada mereka apa-apa yang Allah wajibkan kepada mereka dalam menunaikan haji, seperti wukuf, melempar jumrah, dan thawaf di Baitullah. Begitu pula, diajarkan kepada mereka apa-apa yang diharamkan atas mereka dalam haji. Selanjutnya, Rasulullah SAW pun kembali ke Madinah.
4.      Berapa kali Rasulullah SAW haji seumur hidupnya?
Sejak Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, beliau tidak pernah melakukan haji selain haji ini saja. Adapun selagi tinggal di Makkah, beliau tidak pernah meninggalkan haji setiap tahunnya, karena kaum Quraisy pada zaman jahiliyyah pun tidak pernah meninggalkan haji. Yang meninggalkan haji hanyalah orang yang sedang tidak berada di Makkah pada musim haji, atau terhalang oleh sesuatu.
Ibnul Atsir berkata dalam An-Nihayah: “Sebelum hijrah, Rasullulah SAW berhaji setiap tahun.”[2]
B. Rasulullah SAW Menyampaikan Khutbah wada’
Ibnu Ishaq berkata: “Selanjutnya, Rasulullah SAW berkhutbah di     


hadapan orang banyak. Dalam khutbah itu beliau menjelaskan apa yang perlu beliau jelaskan, yakni beliau memuji dan menjunjung Allah ta’ala,beliau ingin menyampaikan pelajaran penting kepada kaum muslimin tentang syariat Islam dan manasik haji, menunaikan kesaksian dan menyampaikan amanat.
Oleh karena itu, kaum muslimin diseluruh penjuru dunia memahami hal ini, dan mengamalkan apa yang dinasihatkan Rasulullah SAW tersebut.[3]
C.     Wahyu Terakhir yang diturunkan kepada Rasulullah SAW.
Adapun wahyu yang terakhir diturunkan adalah:
“sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah ‘Cukup Allah bagiku; tidak ada ilah selain dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Rabb yang memiliki ‘Ardy yang agung.’” (QS. At-Taubah [9] : 128-129).
Tapi ada pula yang mengatakan bahwa wahyu yang terakhir diturunkan adalah:
“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al. Maa’idah [5]: 3).
Yang kedua inilah riwayat yang shahih.[4]
D.    Rasulullah SAW menghadapi Sakratul Maut.

1.      Rasulullah SAW mulai sakit
Pada akhir bulan Safar tahun ke-11 H (632 M) Rasulullah SAW mulai jatuh sakit. Selama sakitnya, Rasulullah SAW berada rumah istri beliau Maimunah. Dan tatkala sakit beliau semakin parah, maka beliau meminta izin kepada para istri beliau untuk dirawat di rumah ‘Aisyah Al-Shiddiqiyah.[5] Beliau pun dibawa keluar dengan dipapah oleh Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib dan ‘Ali bin Abi Thalib r.a, hingga memasuki rumah ‘Aisyah. Sesampainya di sana beliau meminta diguyur air, maka orang-orang pun menuangkan air kepada beliau, karena beliau merasa demam. Beliau bersabda: “Aku masih merasakan sakit (karena pengaruh) makanan yang aku makan di Khaibar itu. Sekarang agaknya tiba saatnya urat nadiku putus, dikarenakan racun itu.”[6]
Rasul berkata pula: “Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam Shalat”. Beliau merestui Abu Bakar sebagai khalifah (pengganti) beliau semasa hidup.[7]
2.      Rasulullah SAW wafat
Dalam usia 63 tahun berpulanglah beliau ke ramatullah. Yaitu pada tanggal 13 Rabiul Awwal tahun 11 H.[8] Kata ‘Aiayah r.a dalam periwatannya: “Rasulullah SAW wafat diantara dada dan leherku.” Maksudnya, beliau wafat dalam dekapannya atau pangkuannya.[9]
E.      Reaksi kaum Muslimin ketika Rasulullah SAW Wafat

1.      Sikap Abu Bakar,’Umar, dan para sahabat lainnya atas wafatnya Rasulullah SAW
Abu Bakar r.a disaat itu tidak ada. Sementara itu ‘Umar bin Al-Khaththab r.a menghunuskan pedangnya dan mengancam setiap orang yang mengatakan Rasulullah SAW meninggal, padahal dia mendengar khutbah Rasulullah SAW tersebut di atas, di mana beliau berkata:
“Hai orang-orang, aku mendengar bahwa kamu sekalian khawatir akan kematian Nabimu. Apakah ada seorang nabi sebelumku yang kekal ditengah kaumnya, sehingga aku haharu kekal ditengah kamu sekalian? Ketahuilah, aku akan bertemu Rabbku.”[10]
Abu Bakar r.a pun datanglah setelah mendengar berita wafat beliau. Dia datang ke rumah ‘Aisyah r.a, lalu membuka wajah Rasulullah SAW dan menciuminya lalu menangis. Sesudah itu dia keluar, lalu berkata: “Hai orang yang bersumpah, tenanglah kamu; jangan tergesa-gesa!”
Sikap Abu Bakar atas peristiwa ini –sebagaimana anda lihat-menunjukkan betapa tegar dan teguh hatinya dalam menghadapi berbagai kesulitan. Ternyata dia adalah orang yang tetap mampu mengendalikan diri, bijak dan berani.
Memang pada saat wafatnya Rasulullah SAW, banyaklah pikiran orang yang kebingungan. Bahkan ada diantara mereka yang hilang kesadarannya sama sekali. Ada yang mendadak lumpuh, tidak mampu berdiri; adapula yang mendadak bisu, tidak mampu berbicara; dan adapula diantaranya yang jatuh sakit. Diriwayatkan bahwa setelah wafat Nabi SAW, Bilal r.a mengumandangkan adzan. Begitu pula sebelum dikubur. Apabila Bilal mengucapkan: “Asyhaduanna Muhammadar Rosululloh”, maka bergetarlah seluruh masjid dengan ratap dan tangis.


F.      Pengurusan jenazah Rasulullah SAW
Rasulullah SAW wafat pada hari senin, bulan Rabi’ul awal tahun ke-11 H. Ini tidak diperselisihkan. Akan tetapi, senin yang manakah, ini diperselisihkan. Menurut para fuqaha Hijaz., bahwa Rasulullah SAW wafat pada tanggal 2 Rabi’ul awal, sedang menurut Al-Waqidi, Rasulullah SAW wafat pada tanggal 12 Rabi’ul awal.
Beliau dikubur esok harinya, dipertengahan siang ketika matahari tergelincir, pada hari selasa. Usia beliau saat meninggal adalah 63 tahun, menurut kalender Qamariyah. Jenazah Rasulullah SAW dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan
Orang-orang memandikan jenazah Rasulullah SAW tanpa melepas baju beliau. Mereka menuangkan air di atas baju beliau dan menggosokkan tubuh beliau dengan baju. Beliau dimandikan oleh ‘Ali bin Abi Thalib r.a, dengan air yang berasal dari sumur Ghars yang ada di Quba’. Al-‘Abbas dan putranya, Al-Fadhl, membantu ‘Ali untuk membolak-balikkan tubuh beliau yang mulia.
Rasulullah SAW dikafani dengan tiga lapis kain, tanpa baju dan sorban. Setelah selesai dibungkus dengan kain kafan, beliau diletakan di atas dipannya yang berada tepat di pinggir kuburan yang telah digali. Kemudian secara bergiliran orang-orang masuk menshalatkannya, gelombang demi gelombang dan tanpa ada yang mengimami mereka. Yang pertama kali menshalatkan ialah Al Abbas kemudian Banu Hisyam, orang-orang Muhajirin, orang-orang Anshar dan terakhir semua orang.[11]
Sesudah itu Al-‘Abbas, ‘Ali. Al-Fadhal, dan Qutsam bin ‘Abbas turun ke dalam kubur beliau. Sesudah selesai, Bilal memercikkan air diatas kubur beliau SAW dengan sebuah geriba (wadah air yang terbuat dari kulit) dari arah kepala, lalu dia taburi diatasnya batu-batu kerikil dari halaman rumah, ada yang berwarna merah dan ada pula yang putih. Kubur beliau ditinggikan kira-kira satu jengkal dari permukaan tanah.[12]










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah bahwasanya nabi Muhammad saw merupakan nabi dan rasul yang diutus kepada manusia oleh Allah swt untuk memberikan bimbingan kepada jalan yang lurus dengan perjuangan yang gigih. Beliau berhasil merubah kebiasaan umat manusia dari keburukan kepada jalan kebenaran untuk menyembah Allah swt. Maka, perluya kita sebagai umat muslim mempelajari tentang Akhir Hayat Rasulullah saw. Dimulai dari Haji Wada’ hingga pengurusan jenazah Rasulullah saw.
Supaya kita sebagai umat islam untuk menjadikan beliau sebagai contoh dan suri tauladan bagi kita dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam lingkungan keluarga, agama, masyarakat, dan bernegara.

Daftar Pustaka
Ridha, Muhammad.2010. Sirah Nabawiyyah.Bandung:Irsyad Baitus Salam.
Syalabi, Ahmad.2003.Sejarah Kebudayaan Islam.dczJakarta:Pustaka A I Husna Baru.
Hasan, Abdul.1989.As-Sirah An-Nabawiyah.Surabaya:PT Bina Ilmu.
Al khundlari, Muhammad.1992.Nurul Yaqien Fii Siirah Sayyidil Mursalin.Semarang:CV Asy syifa.
Al Buthy, Muhammad Said Ramadhan.1997.Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah Manhajiah Terhadap Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SW.Jakarta:Robbani Press.


[1]  Muhammad Ridha.Sirah Nabawiyyah(Bandung:Irsyad Baitus Salam,2010).hal 797


[2] Muhammad Ridha.Sirah Nabawiyyah(Bandung:Irsyad Baitus Salam,2010).hal 800-801
[3] Ibid.hal 798-800
[4] Ibid.hal 826-827
[5] Syeikh M. Al Khundlari.Nurul Yaqien Fii Siirah Sayyidil Mursalin(Semarang:CV Asy Syifa.1992).hal 377
[6] Muhammad Ridha.Sirah Nabawiyyah(Bandung:Irsyad Baitus Salam,2010).hal 814
[7] Syeikh M. Al Khundlari.Nurul Yaqien Fii Siirah Sayyidil Mursalin(Semarang:CV Asy Syifa.1992).hal 378
[8] A.Syalaby.Sejarah kebudayaan Islam(Jakarta:Pustaka A I Husna Baru.2003).hal 189
[9] Muhammad Ridha.Sirah Nabawiyyah(Bandung:Irsyad Baitus Salam,2010).hal 815
[10] Ibid. Hal 817
[11] Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthy.Sirah Nabawiyyah: Anilis Ilmiah manhajiah Terhadap Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW(Jakarta:Rabbani Press,1997). Hal 343
[12] Muhammad Ridha.Sirah Nabawiyyah(Bandung:Irsyad Baitus Salam,2010).hal 820

syariat islam


Nama              :Nafi’ Rotus Sholikah
Nim                 :13120068
Kelas               :SKI/A
Mata kuliah   : Pengantar Studi Islam

 Syariat Islam.
1.      Pengertian Syari’at Islam.
Syari’at Islam merupakan aturan hukum yang ditetapkan Allah SWT untuk kemaslahatan umat manusia. Hukum atau peraturan dalam menjalankan dan mengamalkan agama Allah termasuk syari’at Islam. Peraturan yang telah ditetapkan Allah SWT kepada manusia, baik hubungannya terhadap Allah SWT, maupun hubungan terhadap sesama manusia, alam dan kehidupan.Hukum secara umum belum mutlak dinamakan Syari’at Islam dalam era modern. Sebab hukum yang bersumber dari Allah SWT dinamakan hukum samawi, sedangkan hukum yang dibuat oleh manusia disebut hukum wadh’i. Menurut etimologi, Syari’at berarti al-thariqah al-sunnah atau jalan dan juga dapat diartikan sumber mata air yang hening bening. Sedangkan pengertian ta’rif menurut terminologi istilah yang umumnya dipakai oleh para ulama salaf, dalam memberikan batas pengertian syari’at Islam sebagai suatu pedoman hidup dan ketetapan hukum yang digariskan oleh Allah SWT.
Syari’ah dinamakan Ad-Din memiliki pengertian bahwa ketetapan peraturan Allah yang wajib ditaati. Umat harus tunduk melaksanakan ad-Din (syari’at) sebagai wujud ketaatan kepada hukum Allah. Ad-Din dalam bahasa Arab berarti hukum. Syari’ah dinamakan Al Millah mempunyai makna bahwa agama bertujuan untuk mempersatukan para pemeluknya dalam suatu perikatan yang teguh. dapat pula bermakna pembukuan atau kesatuan hukum-hukum agama.
Syari’ah sering juga disebut syara’, yaitu aturan yang dijalani manusia, atau suatu aturan agama yang wajib dijalani oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun kelak diakhirat. Menurut kamus bahasa Indonesia pengertian syari’ah adalah “Hukum agama yang diamalkan menjadi peraturan-peraturan upacara yang bertalian dengan agama Islam, palu memalu, hakekat balas membalas perbuatan baik (jahat) dibalas dengan baik (jahat) “.
Syari’at secara umum adalah segala aturan hukum yang diwahyukan kepada para nabi berupa kitab suci seperti : Taurat, Zabur, injil dan Al-Qur’an, maupun berupa syari’at yang disampaikan kepada para nabi yang tidak berupa kitab/tidak dibukukan sebagai kitab yang mempunyai nama, misalnya syari’at Nabi Adam, syari’at Nabi Ibrahim maupun nabi-nabi yang lainnya yang diwahyukan kepada mereka untuk membentengi ummat dimana mereka diutus.Syari’at Islam adalah peraturan/ hukum-hukum agama yang diwahyukan kepada nabi besar Muhammad SAW, yaitu berupa kitab suci Al-Qur’an, sunnah/hadist nabi yang diperbuat atau disabdakan dan yang ditakrirkan oleh nabi termasuk juga bagian dari syari’at Islam.
Dengan demikian perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara’ dan perkara yang masuk dalam kategori Furu’ Syara’.
1. Asas Syara’ : Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadits
2. Furu’ Syara’ : Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al-Qur’an dan Al Hadist.
C. Sumber Dan Dasar Syariat
Secara garis besar sumber dan dasar syariat Islam adalah Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Dari kedua sumber tersebut dijadikan dasar oleh para sahabat, tabiin, tabiit tabiin, ulama dan para fuqaha untuk mengambil keputusan hukum. Dalam perkembangan hukum atau ilmu fiqih untuk mengambil satu keputusan yang tidak didapati di dalam sumber (Al-Qur’an dan sunnah) maka diperkenankan berijtihad.Menurut penyelidikan para ahli fuqaha dalil-dalil syari’at secara global .berpangkal kepada empat pokok yaitu: Al-Qur’an, Al-sunnah, Al-ijma’ dan Al-qiyas oleh jumhur ulama disepakati sebagai dalil hukum amaliyah
Al-Qur’an merupakan kitabullah yang diwahyukan kepada baginda Nabi besar Muhammad saw dalam bentuk lafadz dan maknanya. Al-Qur’an adalah sumber syariat Islam yang tidak perlu diragukan keberadaannya.
Sumber kedua yang dijadikan syari’at Islam adalah sunnah Rasulullah.Sunnah ialah : Nama bagi amaliyah yang mutawattir, yakni cara rasul melaksanakan sesuatu ibadat yang dinukilkan kepada kita dengan amaliah yang mutawattir pula
Hadist sebagai pernyataan, pengamalan, taqrir dan hal ihwal Nabi Muhammad saw, merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an dan sunnah Rasul merupakan syari’at terlengkap yang menjadi syari’at ummat Islam. Al-Qur’an telah dijamin oleh Allah swt kesempurnaannya dan sunnah telah dipertegas oleh Rasulullah keberadaannya.
Dalil-dalil hukum lainnya yang dipegang oleh ulama Ushul secara singkat teruraikan sebagai berikut:
1. Ijma’ menurut istilah ulama Ushul kesepakatan semua ijtahidin atas sesuatu hukum pada suatu masa sesudah Rasulullah.
2. Qiyas menurut ulama ushul menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya dengan kejadian lain yang sudah diatur oleh nash, karena adanya persamaan antara keduanya yang disebut “Illah hukumnya”.
3. Istihsan adalah merupakan kebalikan dari Qiyas, karena istihsan memindahkan hukum suatu peristiwa dengan hukum peristiwa lainnya yang sejenis dan memberikan hukum lain karena ada alasan kuat bagi pengecualian tersebut.
4. Maslahat Mursalah, terdiri dari dua rangkaian kata yaitu: Mashalat (kebaikan, kepentingan) yang tidak diatur oleh ketentuan syara yang menggunakan pertimbangan kebaikan akan sesuatu keputusan di ambil dengan melihat kemaslahatan yang akan timbul dan Mursalah ialah pembinaan (penetapan) hukum berdasarkan.
5. Sadduz zari’ah yaitu menutup segala jalan yang akan menuju pada perbuatan yang merusak atau mungkar.
6. Istihsan yaitu melanjutkan atau menggunakan sesuatu kaidah hukum yang ada sampai dalil atau kaidah hukum lain menggantikannya.
7. Al-‘Urf adalah sesuatu apa yang biasa dijalankan orang, merupakan kebiasaan baik dalam kata-kata maupun perbuatan keseharian.
Qaidah-qaidah hukum di luar dari Al-Qur’an dan Sunnah dijadikan dasar bagi para fuqaha/ulama dalam mengambil keputusan untuk menetapkan suatu hukum. Kalau Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber utama Syari’at Islam maka qaidah-qaidah hukum atau fiqih seperti diuraikan di atas merupakan sumber atau dalil hukum yang dapat dipengaruhi untuk mengambil keputusan bilamana keputusan yang dimaksud tidak didapati pada Al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasulullah.
Syariat Islam mempunyai peranan dan fungsi untuk mengatur dan menata kehidupan manusia, mengarahkan kepada jalan kebenaran yang diridhai oleh Allah swt. tujuan Syari’at Islam adalah mengatur dan menata kehidupan untuk kebahagian dan kemaslahatan manusia baik sewaktu hidup di atas dunia fana ini, maupun kelak di negeri akhirat harus dijalankan Syari’at Islam sebagai suatu pedoman hidup yang hakiki dan sebagai aturan perundang-undangan yang maha lengkap, mengantar manusia ke pintu kebajikan dan menutup pintu kesesatan.
D. Tujuan Syariat Islam
Menurut Oleh: K.H. Athian Ali M. Da’i, MA: Diturunkannya Syariat Islam kepada manusia tentu memiliki “tujuan” sangat mulia. Paling tidak, ada “delapan” tujuan.
1. Memelihara Kemaslahatan Agama (hifzh al-din)

2. Memelihara Jiwa (hifzh al-nafsi)
3. Memelihara Akal (hifzh al-’aqli)
4. Memelihara Keturunan dan Kehormatan (hifzh al-nashli)
5. Memelihara Harta Benda (hifzh al-mal)
6. Melindungi kehormatan seseorang
7. Melindungi rasa aman seseorang
8. Melindugi kehidupan bermasyarakat dan bernegara
DAFTAR PUSTAKA
1. Minhajuddin, Pengantar Ilmu Fiqh-Ushul Fiqh (Ujung Pandang: Fakultas Syariah IAIN Alauddin, 1983), h. 3.
2. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 986.
3. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 2000), h. 8.
4. MT. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1954), h. 39-40.
5. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 3.
6. M. Syuhudi Ismail, Sunnah Menurut Para Pengingkarnya dan Upaya Melestarikan Sunnah oleh Para Pembelanya (Ujung Pandang: Berkah, 1991), h. 1.
7. H.A. Razak dan H. Rais Lathief, Tarjamahan Hadis Shahih Muslim, Jilid I (Jakarta: Pustaka Al-Husnah, 1984) h. XXVI.
8. Abd. Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh) (Jakarta: Rajawali, 1989), h. 20.
9. Mohd. Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam (Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Edisi Revisi (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 2-3.
10. Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam dalam Ismail Muhammad Syah, dkk. Filsafat Hukum Islam (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 17-18.