MAKALAH
Pemikiran-Pemikiran Politik Paling Berpengaruh
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Ilmu Politik
Dosen pengampu: Drs. Badrun Alaena, M.SI
Disusun oleh:
1.
Irfan Khanifudin
2.
Nafi’ Rotus Sholikah
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran politik merupakan
bidang kajian ilmu politik yang cukup penting. Kajian pemikiran politik
memfokuskan pada penyelidikan pemikiran-pemikiran dari tokoh politik, filsuf
politik, maupun kelompok sosial yang berpengaruh melalui ide-ide politiknya.
Pemikiran politik berkaitan erat dengan sejarah, filsafat politik, dan hal-hal
yang nilai, norma, etika, moralitas, dan idealisme politik.
Pemikiran politik terdiri
dari elemen-elemen ide, obsesi, potensi intelektual, dan sosialisasi politik,
yang merupakan representasi realitas lingkungan sosial mengenai masalah Negara,
masyarakat, dan kekuasaan. Menurut Alfian (1986) potensi intelektual yang
dimiliki seseorang memengaruhi pemikirannya, dan juga proses sosial yang pernah
diterima dari pengalaman kehidupan dan lingkungannya, misalnya lingkungan
keluarga, pendidikan, atau organisasi sosial-politik yang pernah diikutinya.
Singkat kata, disamping faktor kecerdasan, corak pemikiran seseorang juga
banyak dipengaruhi oleh proses sosialisasi yang pernah didapatkannya dari
lingkungan.
Pemikiran politik mengalami
perjalanan sejarah yang panjang dan tiap-tiap sejarah menunjukkan suatu gagasan
yang berbeda. Berabad-abad lamanya manusia mulai berpikir tentang dunia, termasuk
politik, Negara, dan hukum. Pemikiran itu mengiringi lahirnya peradaban-peradaban
yang muncul.
B. Rumusan Masalah
a.
Bagaimana pemikiran politik pada masa yunani kuno?
b.
Bagaimana pemikiran politik pada masa romawi kuno?
c.
Bagaimana pemikiran politik zaman pertengahan?
d.
Bagaimana pemikiran politik modern?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Yunani Kuno
a.
Negara kota Yunani
Di era Yunani kuno,
tepatnya di Athena, kesadaran masyarakat tentang mengizinkan warga negaranya
untuk mengeluarkan pendapat tentang negara dan kekuasaan secara kritis telah
terjadi. Kesadaran masyarakat semacam itu mula-mula dimulai oleh beberapa faktor
kejadian, misalnya sifat agama yang tidak mengenal Tuhan, juga ada faktor yang lain
misalnya, keadaan geografis negerinya yang membuatnya mengarah kepada
perdagangan dan kolonisasi.
Tradisi berpikir
filsuf telah lama terjadi. Milite, salah satu Koloni Yunani, adalah tempat
lahirnya filsafat. Berawal dari munculnya pertanyaan yang kosmologis, tentang
bangun dan susunan alam semesta. Setelah meniggalnya pericles pada tahun 429 M,
di Athena mulai muncul filsafat yang radikal, dan demokrasi mulai menjadi
masalah banyak orang yang membutuhkan pemecahan bersama. Dari sinilah muncul
para filsuf besar. Para pemuda mengigninkan jawaban yang bijak tentang
masyarakat dan negara.
Demokrasi mencapai
puncak perkembangannya di Athena selama abad ke-5 SM. Unit pemerintahan yang
dikenal pada saat itu adalah apa yang ada dalam sejarah politik disebut
sebagai”Negara kota” atau “polis”. Sebuah organisasi politik yang unik dan tak
ada padanannya di masa modern. Di Yunani ada ratusan polis dengan berbagai
ukuran dan bentuk pemerintahan, akan tetapi, yang paling dikenal karena
kemajuannya adalah Athena.[1]
b. Socrates
Socrates memang tak memberikan sumbangan
langsung bagi pemikiran politik. Dia lebih banyak tertarik pada individu dan
hanya secara insidential memiliki ketertarikan pada masalah negara sebagai
lembaga politik. Sumbangannya secara langsung pada masalah filsafat
pemerintahan ada tiga hal. Pertama, tegaknya material secara induktif. Upaya
Socrates untuk mencurahkan perhatiannya pada perkembangan metodologi atau model
prosedural untuk mencapai kebenaran sampai pada ditemukan metode definisi atau
dialektika dalam hal pengujian secara kritis terhadap kebenaran opini.
Melalui proses Tanya jawab secara terus-
menerus, dia berupaya untuk menembus esensi atau hakikat subjek, seperti
keadilan atau kebebasan, untuk sampai definisi yang universal. Kedua, formulasi
doktrin bahwa kebaikan adalah pengetahuan. Menurutnya, orang yang baik adalah
orang yang mengetahui, sedang yang bodoh adalah orang yang berdosa. Pengetahuan
yang benar akan membimbing pada tindakan yang benar, tindakan yang jahat adalah
akibat dari wawasan yang kurang baik. Ketiga, ajaran tentang moral. Menurutnya,
ada ukuran objektif tentang baik-buruk, indah-jelek, dan sebagainya. Itu semua
dapat ditemukan karena sukma manusia mempunyai bagian dalam yang umum. Socrates
menegaskan bahwa terdapat prinsip-prinsip moralitas yang tidak berubah dan
universal yang terdapat pada hukum-hukum dan tradisi-tradisi yang beragam di
berbagai wilayah Negara. Dia menegaskan pula bahwa norma-norma kebenaran itu
bebas dan penting untuk opini individu.
Kaitanya dengan negara, Socrates mengatakan
bahwa Negara tidak boleh dipandang sebagai ciptaan manusia, tetapi sebagai
keharusan yang objektif, yang asal mulanya berpangkal dari diri manusia. [2]
c. Plato
Plato berusia 29
tahun pada saat Socrates dihukum mati. Plato menulis kumpulan “epistles” dan
sekitar 25 dialog filsafat dengan gurunya. Plato juga mendirikan sekolah
filsafat di hutan kecil.
Filsafat plato
tentang politik dapat diringkas menjadi beberapa hal:
1. Kebijakan adalah pengetahuan
Dalam hal ini ada 3
konsep yang harus di pahami. Yaitu, kebenaran harus objektif dan tidak berubah
agar kita bisa mencapai pengetahuan mengenainya, kedua, karena kebijakan
disamakan dengan pengetahuan, orang yang mengetahui harus diberi peran
menentukan dalam urusan publik. Ketiga, negara harus berperan aktif dalam
mendidik rakyatnya.
2. Ketidaksetaraan antar manusia.
Bagi Plato, tidak ada
kesetaraan idealitas di kalangan manusia untuk menghargai bakat dan kemampuan.
Dia berpandangan bahwa alam membuat kemampuan manusia berbeda.
3. Negara sebagai alamiah.
Bagi Plato, Negara
dianggap sebagai keinginan dari tiap-tiap individu. Negara dianggap muncul
karena keinginan manusia. Jadi asal mula negara terletak dalam kebutuhan dan
keinginan manusia.
4. Tujuan Negara
Tujuan Negara menurut
Plato, adalah untuk kesejahteraan bersama. Kata Plato, “ tujuan kita menegakkan
Negara bukanlah ketidakseimbangan kebahagiaan kelas tertentu, melainkan demi
kebahagiaan buat semua”.[3]
d. Aristoteles
Aristoteles adalah murid
Plato, yang belajar di sekolah filsafatnya. Aristoteles sangat tertarik untuk
memerhatikan perubahan atau proses alam. Filsafatnya, adalah ajaran tentang
kenyataan atau ontologi, suatu cara berpikir realitas. Dalam sejarah pemikiran
filsafat, Aristoteles dikenal sebagai peletak ilmu logika. Dia menunjukkan
sejumlah hukum yang mengatur kesimpulan-kesimpulan atau bukti-bukti sah.
Filsafatnya tentang manusia mengatakan bahwa “bentuk” manusia terdiri atas jiwa
yang mempunyai bagian seperti tanaman. Tentang negara, ia mendefinisikan negara
sebagai” komunitas keluarga dan kumpulan keluarga sejahtera demi kehidupan yang
sempurna dan berkecukupan.[4]
B. Pemikiran
Politik Romawi Kuno
Dalam sejarah pemikiran politik, Romawi dapat
dikatakan membawa gagasan yang merupakan transisi dari era Yunani Kuno menuju
pemikiran Eropa Barat era modern. Periode Romawi dikenal bukan karena teori
politiknya, tetapi karena hukumnya, dan hal tertentu juga karena
administrasinya. Di bidang inilah Romawi meninggalkan warisanya pada dunia
Barat
1.
Cicero
Pemikirannya tentang hukum dan negara telah dimulai
sejak abad pertama sebelum masehi. Cicero memiliki dua karya yaitu De
Republica dan De legibus berisi tentang negara dan undang-undang.
Cicero menganggap bahwa negara itu sangat perlu dan harus didasarkan pada budi
manusia. Mengenai bentuk pemerintahan, Cicero pun menganjurkan suatu bentuk
yang merupakan gabungan dari ketiga bentuk pemerintahan. Namun, tiap penduduk
harus mengambil bagian dalam pemerintahan. Tetapi, demokrasi akan menghadapinya
sebagai lawan. Dalam praktiknya Cicero tetap tidak menyukai demokrasi.
Alasannya , demokrasi dianggap menempatkan orang pada level yang sama dan tidak
mengakui adanya pembedaan pangkat.
Pandangan Cicero tentang kesetaraan manusia jauh lebih
maju dibandingkan pemikir Yunani. Plato dan Aristoteles, misalnya mengawali
dengan perbedaan kelas dan mengiyakan alamiah. Sedangkan bagi Cicero, perbedaan
dan ketidaksetaraan kelas justru bertentangan dengan nalar alam. Cicero
menganggap bahwa manusia bisa berbeda dalam hal pengetahuan, namun sama dalam
hal kapasitasnya untuk mendapatkan pengetahuan.[5]
2.
Seneca
Anggapannya tentang negara agak berbeda dari kaum
Platonis, ia menganggap bahwa negara adalah lembaga masyarakat yang meupakan
hasil samping dari dosa. Negara dan hukum manusia merupakan intitusi
konvensional yang diperlukan karena adanya sifat manusia yang jahat dan
bukannya karena kondisi alamiah mencapai kemajuan yang ideal.
Konsep penting tentang politik yang juga berpengaruh
dari Sineca adalah konsep tentang dua pesemakmuran (commonwealth): satu,
negara politik dengan pemerintah dan institusi hukumnya; yang lain
masyarakat universal, persaudaraan manusia, yang ikatan-ikatannya lebih
bersifat moral dan etis daripada legal dan politis. Masyarakat universal harus
selalu menolak tuntutan-tuntutan dari Negara politik yang ikut campur dalam
domainnya.
C.
Pemikiran Politik Zaman Pertengahan
1.
St. Augustine (334-430)
Augustine dianggap sebagai pencipta secara garis besar
alam pikiran Zaman Pertengahan dari alam pikiran Kristen dan zaman kuno.
Termasyhurnya Augustine dibentuk oleh sejarah di Romawi. Pemikirannya mampu
menyelamatkan kondisi Romawi sekaligus kekuatan gereja yang dirongrong oleh
situasi politik yang kacau.
Hanya kekuatan gereja dengan organisasinya yang kian
tumbuh meluas, dengan administratornya yang terlatih, dan semangatnya yang
menyala yang mengisi kekosongan yang disebabkan oleh kekuasaan politik di
Barat. Inilah kesempatan bagi Kristen untuk tampil ditengah-tengah masyarakat
manusia. Augustine melontarkan pikiran politik keagamaan yang membangkitkan,
melalui karya besarnya yang berjudul “The City of God (Civitas Dei)”. Sementara
itu, dua belas bab terakhir buku tersebut melontarkan pandangannya tentang
masyarakat, tentang Negara politik dalam konteks yang lebih luas mengenai hubungan
Tuhan dengan kemajuan dan tahapan tertinggi manusia.
Pemikiran St. Augustine memang merupakan cenderung
memasukkan nilai-nilai supranatural ke dalam nilai-nilai duniawi. Ia
menafsirkan dan memodifikasi kekuatan-kekuatan besar intelektual dan budaya
dalam sinaran wahyu Kristen. Aspek sangat penting dari pemikiran Augustine
lainnya adalah dasar teologis yang diberikannya pada wilayah hak-hak manusia.[6]
2.
Thomas Aquinas (1225 – 1274)
Thomas menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah
binatang social dan politik. Menusia saling memenuhi satu sama lain, dan untuk
mencapai tujuannya, manusia harus menggunakan akal pikirannya yang telah
diberikan oleh alam. Thomas membicarakan tiga macam hukum dan hubungan yang
terdapat di antara hukum-hukum itu:
a.
Hukum Abadi (Lex Aeterna) atau kebijaksanaan
ilahi sejauh merupakan dasar segala penciptaaan.
b.
Hukum Kodrat (Lex Naturalis) adalah dasar semua
tuntutan moral. Dengan demikian, ia pada akar hukum moral menolak segala paham
kewajiban yang tidak dapat dilegitimasikan secara rasional dari kebutuhan
manusia yang sebenarnya.
c.
Dari prinsip diatas, ia menerapkan dalam hukum buatan
manusia (Lex Humana). Hukum manusia hanya berlaku jika menurut dua
dimensinya berdasarkan Hukum Kodrat, isinya harus sesuai dengan Hukum Kodrat,
dan pihak yang memasang hukum itu memiliki wewenangnya berdasarkan Hukum
Kodrat.
Itulah pandangan Thomas Aquinas yang menginginkan
bahwa kekuasaan harus memiliki legitimasi etis. St. Thomas Aquinas tak pernah
menjelaskan bagaimana bimbingan gereja terhadap Negara dijalankan secara
kelembagaan bentuk pemerintahan terbaik menurutnya adalah monarki (kerajaan). Selain
St. Augustine, Thomas Aquinas, Dante yang cenderung sangat gerejawi. Ada
beberapa nama yang layak dicatat disini:
-
Marsilius dari Padua (1270-1340) ia mengadopsi definisi Aristoteles
mengenai kewarganegaraan sebagai “setiap orang yang berpartisipasi dalam
komunitas sipil, dalam dewan atau lembaga, menurut jabatannya”.
-
John Wycliffe (1320-1384), menurutnya kekuasaan ketuhanan
dilaksanakan atas manusia tidak dengan perantara, tetapi secara langsung.
-
Jean Gerson (1363-1429), baginya konsili adalah kekuasaan
tertinggi. Gerson ingin mengatur hak-hak Paus, raja dan rakyat dalam bentuk
konstitusi.
-
Nicolas Cusa (1401-1464), menurutnya seorang pejabat negara harus
melaksanakan undang-undang dan mereka harus terikat dengan undang-undang itu.
Pemikiran-pemikiran dinamis semacam inilah yang
mempengaruhi pemikiran politik dikalangan pengikut dan tokoh Kristen. Intinya
adalah bahwa mereka telah melihat pemerintahan dan Negara yang terlalu
didominasi gereja justru tidak memberi ruang demokrasi bagi masyarakat, serta
tidak memberikan kesejahteraan umum. [7]
D. Pemikiran
Politik Zaman Modern.
1.
Reformasi Martin Luther
Martin Luther tidak puas dengan hierarki gereja dan
hukum gereja. Mula-mula Luther mengajarkan bahwa kaum Kristen boleh membela
diri terhadap pemerintahan yang sewenang-wenang. Jika kaisar melanggar
undang-undang, baginya rakyat tak usah mematuhinya. Dia menganggap bahwa Negara
harus menentukan batas-batas kesabaran dan harus membrantas bid’ah. Menurutnya,
Negara adalah suci, raja-raja hanya bertanggung jawab pada Tuhan. Kekuasaan Negara
lebih tinggi daripada kekuasaan gereja dan hak yang berasal dari Tuhan.[8]
2.
John Calvin (1509-1564)
Ia merupakan pengikut Luther, tetapi dalam pandangan
pilitiknya tidak konservafif. Calvin setuju dengan pandangan Luther mengenai
ordinasi ketuhanan mengenai kekuasaan sekuler serta keharusan untuk tunduk
secara pasif pada otoritas semacam ini. Ia ingin menjembatani pertentangan
dialektik antara masyarakat agama dan masyarakat sekuler dan membangun kembali status moral tatanan
politik tanpa menjadikannya tampak sebagai pengganti bagi masyarakat religious.
Negara berfungsi sebagai instrument untuk membangun
kerajaan Tuhan. Ia menjadikan Negara sebagai agen sejati dari kekuasaan agama dan
menggabungkan dua kekuasaan ditangan yang sama, hanya saja dalam kasus ini
kekuasan itu ada ditangan agama bukan Negara.[9]
3.
Monarchomachs
Istilah “monarchomachs” yang berarti ‘pembantah raja’.
Salah stu yang mereka persoalkan adalah hubungan antara gereja dan Negara. Pada
tahun 1579, karya mereka Vindiciae contra tyrannos atau Grounds of
Rights againts Tyrants. Dalam buku ini berpegang pada teori bahwa penguasa
sekuler, meskipun kedudukannya adalah kedudukan yang suci, kekuasaannya secara
langsung berasal dari rakyat dan karenanya bertanggung jawab kepada mereka. [10]
4.
Noccolo Machiavelli (1469-1527)
Menurut kaum moralis, ia dicela sebagai guru politik
yang mengajarkan muslihat, penipuan, dan penghianatan, serta kejahatan. Dia juga
dianggap penggagas totalitarianism politik modern.
Niccolo Machiavelli lahir di Florence, Italia, 3 Mei
1469 dan meninggal pada 21 Juni 1527 saat ia berumur 58 tahun. Seorang ahli
teori, utamanya dalam realitas teori politik, ia sangat disegani di Eropa
semasa hidupnya. Tentu karena ia bukan hanya seorang pemikir, melainkan juga
seorang praktisi politik. Machiavelli berpandanagn bahwa agama dan politik
tidak boleh saling dikaitkan. Baginya, kekuasaan dan Negara hendaknya
dipisahkan daari moralitas dan Tuhan. Kekuasaan sebagai tujuan bukan instrument
untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas dan agama. Ia memang ahli dan filsuf
politik pertama yang mendiskusikan fenomena social politik tanpa merujuk pada
sumber-sumber etis ataupun hukum. Hal itu merupakan pendekatan dalam ilmu
politik yang untuk pertama kalinya dalam sejarah ilmu dan teori politik
bersifat murni ilmiah terhadap gereja kekuasaan. Dapat dikatakan bahwa pengaruh
pemikirannya dipengaruhi oleh perkembangan politik yang dilihatnya. [11]
5.
Jean Bodin (1530-1596)
Jean Bodin adalah seorang pengacara dan sarjana hukum
dari Toulouse, yang pada 1551 datang di Paris dan tinggal di dekat istana.
Dalam karyanya yang untuk masanya cukup aneh “Heptaplomeres” ditegaskan
dalam karya itu bahwa tujuh organisasi gereja mendapat hak sepenuhnya untuk
berdiri, asal saja mereka tidak melanggar undang-undang Negara. teori
kedaulatan yang dibangun atas pemahamannya tentang Negara yang didefinisikan
sebagai “pemerintahan yang tertata dengan baik dari beberapa keluarga serta
kepentingan bersama mereka oleh kekuasaan yang berdaulat”. Bodin menganggap
bahwa Negara mempunyai asal usulnya dalam kekuatan dan kekerasan. Disinilah, ia
mengatakan bahwa elemen yang membedakan Negara dari semua bentuk asosiasi
manusia yang lain adalah kedaulatan. [12]
6.
Hugo Grotius (1583-1645)
Hobbes dilahirkan di Malmesbury (Inggris) pada tahun
1588. Ia menuliskan dua buku yang membuatnya sangat terkenal sebagai pemikir
politik, Negara, dan hukum, yaitu De Cive (tentang warga Negara) pada
tahun 1642 dan Leviathan (1651). Bagi Hobbes keberadaan Negara itu
seperti dia, yang memiliki kekuatan memaksa, menghukum, dan membuat orang harus
patuh padanya. Oleh karenanya, Negara harus kuat sepertinya, tak boleh lemah.
Jika Negara lemah , akan timbul konflik dan guncangan, anarki, perang sipil di
dalam, dan membuat kekerasan tak mempu mengendalikan pertengkaran antara umat
menusia yang memiliki kepentingan. [13]
7.
Thomas Hobbes (1588-1679)
Locke dilahirkan di sekitar Bistol sebagai anak
seorang sarjana hukum. Dibidang politik, Locke adalah pelopor banyak gagasan
liberal yang pada masa selanjutnya, terutama di abad 18 berkembang pesat.
Dialah pemikir pertama yang menggagas prinsip pembagian kekuasaan yang
ditegaskan Montequieu. Locke melontarkan bahwa kekuasaan legislative dan
eksekutif harus dipisahkan jika ingin menghindari terjadinya kezaliman
kekuasaan. Untuk menciptakan undang-undang dan raja atau pemerintah harus
menerapkannya. Dari situ Locke merupakan pemikir yang mencita-citakan persamaan
karena antar-manusia merupakan hukum kodrat yang membedakan secara signifikan
keadaan alamiah dan keadaan perang. Menurut Locke manusia ketika lahir memiliki
kebebasan dan hak asasi. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) dan kekuasaan hukum
adalah dua macam perjanjian masyarakat, yaitu mengacu pada perjanjian
antar-individu untuk membentuk negara dan bersama-sama menyerahkan hak untuk
mempertahankan kehidupan dan hak untuk menghukum yang bersumber dari alam. [14]
8.
John Locke (1632-1704
Ajaran Locke tentang negara mempunyai pengaruh yang sangat besar
di berbagai belahan dunia. Konsep government by consent of the people
(pemerintahan berdasarkan persetujuan rakyat) dan paham kepercayaan (trust)
rakyat kepada pemerintah sebagai dasar legitimasinya termasuk paham-paham dasar
ilmu politik modern. Kekuasaan tidak lagi dapat menghindari pertanggungjawaban
dengan menggunakan argumen bahwa ia hanya bertanggung jawab kepada Tuhan.
Dengan demikian, Locke mengaitkan kembali wewenang pemerintahan pada
“delegation”, pada penyerahan pemerintahan itu oleh mereka yang diperintah.
Locke membongkar dasar dari klaim raja bahwa kekuasaan mutlak dan tidak
terbatas.
Kekuasaan politik, menurut Locke, adalah suatu keadaan
alamiah (state of nature) yang di dalamnya terdapat hukum alam yang tidak lain
adalah hukum Tuhan yang mengatur keadaan alamiah. Keadaan
alamiah ini mendahului eksistensi negara. Dalam keadaan alamiah, manusia itu
sama dalam pengertian bahwa semua memiliki hak yang sama untuk mempergunakan
kemampuan mereka. Manusia secara alamiah sebenarnya baik. Oleh karena itu,
keadaan alamiah tampak sebagai “a state of peace, good will, mutual assistance,
and preservation”. Hak dasar terpenting manusia adalah hak atas hidup dan hak
untuk mempertahankan diri. Dengan demikian, manusia dalam keadaan alamiah
sebenarnya sudah mengenal hubungan-hubungan sosial. Pandangan Locke yang sangat
positif dalam memandang state of nature manusia ini sangat berbeda dengan
pendahulunya, yakni Thomas Hobbes yang penuh curiga terhadap state of nature
manusia.[15]
9.
Montesquieu (1689-1755)
Montesquieu
menetapkan dua prinsip penting dalam teori politik. Pertama semua masyarakat
bersandar pada solidatitas kepentingan, kedua adanya suatu masyarakat bebbas
hanyalah di atas dasar penggabungan keutamaan warga negara, seperti Rebulik
masa lampau.
Kedua, sejarah kebesaran dan ejatuhan Romawi (Considations on the greatness and decline of the Romans). Buku yang kedua ini adalah sebuah karangan pendek bersifat sementara yang diterbitkan di Belanda tahun 1734, juga secara anonym. Namun, akhirnya bisa beradar secara bebas di Prancis. Walaupun buku ini kurang terkenal, pembahasannya tentang sejarah kekaisaran Romawi merupakan dokumen sejarah paling lengkap tentang masyarakat politik. Studinya tentang masalah ini membawanya pada konsep yang dikembangkan dalam The Spirit of Laws.
Kedua, sejarah kebesaran dan ejatuhan Romawi (Considations on the greatness and decline of the Romans). Buku yang kedua ini adalah sebuah karangan pendek bersifat sementara yang diterbitkan di Belanda tahun 1734, juga secara anonym. Namun, akhirnya bisa beradar secara bebas di Prancis. Walaupun buku ini kurang terkenal, pembahasannya tentang sejarah kekaisaran Romawi merupakan dokumen sejarah paling lengkap tentang masyarakat politik. Studinya tentang masalah ini membawanya pada konsep yang dikembangkan dalam The Spirit of Laws.
Ketiga, karya besar Montesquieu adalah
semangat hukum (The Spirit of Laws). Tidak seperti dua karyanya terdahulu,
pemikiran Montesquieu dalam The Spirit of Laws memberikan alternative-alternatif
politik yang masuk akal, yaitu:
1. Hukum dan bentuk pemerintahan ditentukan oleh banyaknya orang yang berkuasa dan prinsip nilai yang digunakan.Pemerintahan dibagi menjadi tiga macam: republik, monarki, dan depotis.
2. Kondisi di atas mempengaruhi gagasannya tentang Trias Politica yang memisahkan kekuasaan Negara dalam tiga bentuk kekuasaan (eksekutif, legistif, dan yudikatif).
3. Dua factor utama yang membentuk watak masyarakat, yaitu secara fisik dan mental. Faktor moral juga berpengaruh penting terhadap agama, kebiasaan, ekonomi, dan perdagangan.
1. Hukum dan bentuk pemerintahan ditentukan oleh banyaknya orang yang berkuasa dan prinsip nilai yang digunakan.Pemerintahan dibagi menjadi tiga macam: republik, monarki, dan depotis.
2. Kondisi di atas mempengaruhi gagasannya tentang Trias Politica yang memisahkan kekuasaan Negara dalam tiga bentuk kekuasaan (eksekutif, legistif, dan yudikatif).
3. Dua factor utama yang membentuk watak masyarakat, yaitu secara fisik dan mental. Faktor moral juga berpengaruh penting terhadap agama, kebiasaan, ekonomi, dan perdagangan.
10. Jean Jacques
Rousseau (1712-1778)
1. State of nature manusia dalam pandangan
Rousseau
Rousseau berpendapat bahwa manusia mempunyai keadaan
alamiah atau keadaan azali dalam dirinya sebagai suatu individu yang bebas atau
merdeka tanpa adanya suatu intervensi atau paksaan dari manapun . meskipun
mempunyai kebebasan yang mutlak, manusia tidak ingin atau memiliki keinginan
untuk menaklukan sesamanya karena manusia alamiah bersifat tidak baik maupun
tidak buruk. Mereka hanya mencintai dirinya
sendiri secara spontan dan berusaha untuk menjaga keselamatan dirinya dan
memuaskan keinginan manusiawinya.
Menurut
Rousseau, manusia abad pencerahan sudah mengubah dirinya menjadi manusia
rasional. manusia rational hanya mementingkan faktor material untuk memenuhi
kebutuhan dirinya. faktor-faktor non-materail berupa perasaan dan emosi
mengalami pengikisan yang berakibat manusia seolah-olah hanya bergerak menurut
rasionya saja.. Abad Pencerahan menurut Rousseau adalah abad pesimisme total.
Pemikir-pemikir pencerahan, perkembangan teknologi dan sains menyebabkan
dekadensi moral dan budaya. Akibatnya, manusia menjadi rakus dan tamak sehingga
terjadi kerusakan dan penghancuran besar-besaran bagi keberlangsungan manusia,
baik itu alam maupun manusianya sendiri. Oleh sebab itu, Rousseau berpikir
bahwa manusia seharusnya kembali pada kehidupannya yang alamiah yang memiliki
emosi dan perasaan untuk mencegah dan terhindar dari kehancuran total.[16]
11. Hegel
(1770-1831)
Filosofi Hegel ini sangat menerapkan dan mendiskripsikan
demokrasi di tengah maraknya anti-demokrasi pada saat itu. Hegel ini sendiri
bercermin dari apa peristiwa revolusi Perancis membuahkan tiga kunci utama
filosofi Hegel yakni; Spirit, Freedom and Sociality
(Klikauer 2012, 654). Hegel dalam filosofinya jelas menerangkan bahwa ketiga
kata kunci tersebut sangat berkaitan erat dengan hak Individu. Hegel
menerangkan konsep freedom atau kebebeasan yang ia
tekankan bukan merupakan pilihan atau opsi yang diberikan oleh negara melainkan
memang telah menjadi hak dari setiap Individu tersebut.
Bagi hegel, politik dikomplementasikan sebagai mode pikiran yang
sifatnya absolut laiknya sebuah seni, filosofi, maupun agama. Penjabaran
politik oleh Hegel sendiri tidak secara spesifik mengarah pada
perjanjian-perjanjian politik, tetapi lebih kepada relasinya dengan berbagai
isu-isu yang banyak berkembang.Selama masa ajaran di Berne, pemikiran Hegel
banyak terpengaruh oleh pemikiran Immanuel Kant, atau yang lebih dikenal dengan
filosofi Kantian, tentang semangat kebebasan. Baik dalam permasalahan ekonomi
dan politik yang didalaminya, Hegel ‘menyerang’ sistem-sistem feodalisme
beserta struktur oligarki di Bernese Administration yang menyerukan tentang
persamaan hak individu. Sementara, dalam negara sendiri yang dianggap Hegel sebagai sebuah organ politik, tidak terdapat a pembagian
kekuasaan, dimana penyerapan fungsi legislasi dan yudikasi berada dibawah
otoritas eksekutif.[17]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari uraian diatas dapat kami simpulkan bahwa banyak
pemikiran- pemikiran yang berpengaruh di zaman Yunani Kuno, Romawi Kuno, dan
sebagainya, yang mempengaruhi pemikiran khususnya politik pada zaman sekarang
ini.
B.
Saran
Dalam membuat makalah ini tentu penulis melakukan
kesalahan yang tidak sengaja, untuk itu penulis mengharap kritik dan saran yang
bersifat membantu demi perbaikan penyusunan makalah kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar
Ebyhara. 2010. Pengantar Ilmu Politik. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA
www.pemikiran
politik John Locke.com
http://sociahttp://ikadevihardianti-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-83224-Pemikiran%20Politik%20Barat-Pemikiran%20Politik%20Hegel.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar