Rabu, 04 Juni 2014

pemikiran-pemikiran politik yang paling berpengaruh

MAKALAH
Pemikiran-Pemikiran Politik Paling Berpengaruh
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Politik
Dosen pengampu: Drs. Badrun Alaena, M.SI



Disusun oleh:
1.    Irfan Khanifudin
2.    Nafi’ Rotus Sholikah




PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014




BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pemikiran politik merupakan bidang kajian ilmu politik yang cukup penting. Kajian pemikiran politik memfokuskan pada penyelidikan pemikiran-pemikiran dari tokoh politik, filsuf politik, maupun kelompok sosial yang berpengaruh melalui ide-ide politiknya. Pemikiran politik berkaitan erat dengan sejarah, filsafat politik, dan hal-hal yang nilai, norma, etika, moralitas, dan idealisme politik.
Pemikiran politik terdiri dari elemen-elemen ide, obsesi, potensi intelektual, dan sosialisasi politik, yang merupakan representasi realitas lingkungan sosial mengenai masalah Negara, masyarakat, dan kekuasaan. Menurut Alfian (1986) potensi intelektual yang dimiliki seseorang memengaruhi pemikirannya, dan juga proses sosial yang pernah diterima dari pengalaman kehidupan dan lingkungannya, misalnya lingkungan keluarga, pendidikan, atau organisasi sosial-politik yang pernah diikutinya. Singkat kata, disamping faktor kecerdasan, corak pemikiran seseorang juga banyak dipengaruhi oleh proses sosialisasi yang pernah didapatkannya dari lingkungan.
Pemikiran politik mengalami perjalanan sejarah yang panjang dan tiap-tiap sejarah menunjukkan suatu gagasan yang berbeda. Berabad-abad lamanya manusia mulai berpikir tentang dunia, termasuk politik, Negara, dan hukum. Pemikiran itu mengiringi lahirnya peradaban-peradaban yang muncul.

B.  Rumusan Masalah

a.    Bagaimana pemikiran politik pada masa yunani kuno?
b.    Bagaimana pemikiran politik pada masa romawi kuno?
c.    Bagaimana pemikiran politik zaman pertengahan?
d.   Bagaimana pemikiran politik modern?




BAB II
PEMBAHASAN
A.  Yunani Kuno
a.      Negara kota Yunani
Di era Yunani kuno, tepatnya di Athena, kesadaran masyarakat tentang mengizinkan warga negaranya untuk mengeluarkan pendapat tentang negara dan kekuasaan secara kritis telah terjadi. Kesadaran masyarakat semacam itu mula-mula dimulai oleh beberapa faktor kejadian, misalnya sifat agama yang tidak mengenal Tuhan, juga ada faktor yang lain misalnya, keadaan geografis negerinya yang membuatnya mengarah kepada perdagangan dan kolonisasi.
Tradisi berpikir filsuf telah lama terjadi. Milite, salah satu Koloni Yunani, adalah tempat lahirnya filsafat. Berawal dari munculnya pertanyaan yang kosmologis, tentang bangun dan susunan alam semesta. Setelah meniggalnya pericles pada tahun 429 M, di Athena mulai muncul filsafat yang radikal, dan demokrasi mulai menjadi masalah banyak orang yang membutuhkan pemecahan bersama. Dari sinilah muncul para filsuf besar. Para pemuda mengigninkan jawaban yang bijak tentang masyarakat dan negara.
Demokrasi mencapai puncak perkembangannya di Athena selama abad ke-5 SM. Unit pemerintahan yang dikenal pada saat itu adalah apa yang ada dalam sejarah politik disebut sebagai”Negara kota” atau “polis”. Sebuah organisasi politik yang unik dan tak ada padanannya di masa modern. Di Yunani ada ratusan polis dengan berbagai ukuran dan bentuk pemerintahan, akan tetapi, yang paling dikenal karena kemajuannya adalah Athena.[1]
b.      Socrates
Socrates memang tak memberikan sumbangan langsung bagi pemikiran politik. Dia lebih banyak tertarik pada individu dan hanya secara insidential memiliki ketertarikan pada masalah negara sebagai lembaga politik. Sumbangannya secara langsung pada masalah filsafat pemerintahan ada tiga hal. Pertama, tegaknya material secara induktif. Upaya Socrates untuk mencurahkan perhatiannya pada perkembangan metodologi atau model prosedural untuk mencapai kebenaran sampai pada ditemukan metode definisi atau dialektika dalam hal pengujian secara kritis terhadap kebenaran opini.
Melalui proses Tanya jawab secara terus- menerus, dia berupaya untuk menembus esensi atau hakikat subjek, seperti keadilan atau kebebasan, untuk sampai definisi yang universal. Kedua, formulasi doktrin bahwa kebaikan adalah pengetahuan. Menurutnya, orang yang baik adalah orang yang mengetahui, sedang yang bodoh adalah orang yang berdosa. Pengetahuan yang benar akan membimbing pada tindakan yang benar, tindakan yang jahat adalah akibat dari wawasan yang kurang baik. Ketiga, ajaran tentang moral. Menurutnya, ada ukuran objektif tentang baik-buruk, indah-jelek, dan sebagainya. Itu semua dapat ditemukan karena sukma manusia mempunyai bagian dalam yang umum. Socrates menegaskan bahwa terdapat prinsip-prinsip moralitas yang tidak berubah dan universal yang terdapat pada hukum-hukum dan tradisi-tradisi yang beragam di berbagai wilayah Negara. Dia menegaskan pula bahwa norma-norma kebenaran itu bebas dan penting untuk opini individu.
Kaitanya dengan negara, Socrates mengatakan bahwa Negara tidak boleh dipandang sebagai ciptaan manusia, tetapi sebagai keharusan yang objektif, yang asal mulanya berpangkal dari diri manusia. [2]
c.       Plato
Plato berusia 29 tahun pada saat Socrates dihukum mati. Plato menulis kumpulan “epistles” dan sekitar 25 dialog filsafat dengan gurunya. Plato juga mendirikan sekolah filsafat di hutan kecil.
Filsafat plato tentang politik dapat diringkas menjadi beberapa hal:
1.      Kebijakan adalah pengetahuan
Dalam hal ini ada 3 konsep yang harus di pahami. Yaitu, kebenaran harus objektif dan tidak berubah agar kita bisa mencapai pengetahuan mengenainya, kedua, karena kebijakan disamakan dengan pengetahuan, orang yang mengetahui harus diberi peran menentukan dalam urusan publik. Ketiga, negara harus berperan aktif dalam mendidik rakyatnya.
2.      Ketidaksetaraan antar manusia.
Bagi Plato, tidak ada kesetaraan idealitas di kalangan manusia untuk menghargai bakat dan kemampuan. Dia berpandangan bahwa alam membuat kemampuan manusia berbeda.
3.      Negara sebagai alamiah.
Bagi Plato, Negara dianggap sebagai keinginan dari tiap-tiap individu. Negara dianggap muncul karena keinginan manusia. Jadi asal mula negara terletak dalam kebutuhan dan keinginan manusia.
4.      Tujuan Negara
Tujuan Negara menurut Plato, adalah untuk kesejahteraan bersama. Kata Plato, “ tujuan kita menegakkan Negara bukanlah ketidakseimbangan kebahagiaan kelas tertentu, melainkan demi kebahagiaan buat semua”.[3]
d.      Aristoteles
Aristoteles adalah murid Plato, yang belajar di sekolah filsafatnya. Aristoteles sangat tertarik untuk memerhatikan perubahan atau proses alam. Filsafatnya, adalah ajaran tentang kenyataan atau ontologi, suatu cara berpikir realitas. Dalam sejarah pemikiran filsafat, Aristoteles dikenal sebagai peletak ilmu logika. Dia menunjukkan sejumlah hukum yang mengatur kesimpulan-kesimpulan atau bukti-bukti sah. Filsafatnya tentang manusia mengatakan bahwa “bentuk” manusia terdiri atas jiwa yang mempunyai bagian seperti tanaman. Tentang negara, ia mendefinisikan negara sebagai” komunitas keluarga dan kumpulan keluarga sejahtera demi kehidupan yang sempurna dan berkecukupan.[4]
B.  Pemikiran Politik Romawi Kuno
Dalam sejarah pemikiran politik, Romawi dapat dikatakan membawa gagasan yang merupakan transisi dari era Yunani Kuno menuju pemikiran Eropa Barat era modern. Periode Romawi dikenal bukan karena teori politiknya, tetapi karena hukumnya, dan hal tertentu juga karena administrasinya. Di bidang inilah Romawi meninggalkan warisanya pada dunia Barat
1.      Cicero
Pemikirannya tentang hukum dan negara telah dimulai sejak abad pertama sebelum masehi. Cicero memiliki dua karya yaitu De Republica dan De legibus berisi tentang negara dan undang-undang. Cicero menganggap bahwa negara itu sangat perlu dan harus didasarkan pada budi manusia. Mengenai bentuk pemerintahan, Cicero pun menganjurkan suatu bentuk yang merupakan gabungan dari ketiga bentuk pemerintahan. Namun, tiap penduduk harus mengambil bagian dalam pemerintahan. Tetapi, demokrasi akan menghadapinya sebagai lawan. Dalam praktiknya Cicero tetap tidak menyukai demokrasi. Alasannya , demokrasi dianggap menempatkan orang pada level yang sama dan tidak mengakui adanya pembedaan pangkat.
Pandangan Cicero tentang kesetaraan manusia jauh lebih maju dibandingkan pemikir Yunani. Plato dan Aristoteles, misalnya mengawali dengan perbedaan kelas dan mengiyakan alamiah. Sedangkan bagi Cicero, perbedaan dan ketidaksetaraan kelas justru bertentangan dengan nalar alam. Cicero menganggap bahwa manusia bisa berbeda dalam hal pengetahuan, namun sama dalam hal kapasitasnya untuk mendapatkan pengetahuan.[5]
2.      Seneca
Anggapannya tentang negara agak berbeda dari kaum Platonis, ia menganggap bahwa negara adalah lembaga masyarakat yang meupakan hasil samping dari dosa. Negara dan hukum manusia merupakan intitusi konvensional yang diperlukan karena adanya sifat manusia yang jahat dan bukannya karena kondisi alamiah mencapai kemajuan yang ideal.
Konsep penting tentang politik yang juga berpengaruh dari Sineca adalah konsep tentang dua pesemakmuran (commonwealth): satu, negara politik dengan pemerintah dan institusi hukumnya; yang lain masyarakat universal, persaudaraan manusia, yang ikatan-ikatannya lebih bersifat moral dan etis daripada legal dan politis. Masyarakat universal harus selalu menolak tuntutan-tuntutan dari Negara politik yang ikut campur dalam domainnya.
C.    Pemikiran Politik Zaman Pertengahan
1.      St. Augustine (334-430)
Augustine dianggap sebagai pencipta secara garis besar alam pikiran Zaman Pertengahan dari alam pikiran Kristen dan zaman kuno. Termasyhurnya Augustine dibentuk oleh sejarah di Romawi. Pemikirannya mampu menyelamatkan kondisi Romawi sekaligus kekuatan gereja yang dirongrong oleh situasi politik yang kacau.   
Hanya kekuatan gereja dengan organisasinya yang kian tumbuh meluas, dengan administratornya yang terlatih, dan semangatnya yang menyala yang mengisi kekosongan yang disebabkan oleh kekuasaan politik di Barat. Inilah kesempatan bagi Kristen untuk tampil ditengah-tengah masyarakat manusia. Augustine melontarkan pikiran politik keagamaan yang membangkitkan, melalui karya besarnya yang berjudul “The City of God (Civitas Dei)”. Sementara itu, dua belas bab terakhir buku tersebut melontarkan pandangannya tentang masyarakat, tentang Negara politik dalam konteks yang lebih luas mengenai hubungan Tuhan dengan kemajuan dan tahapan tertinggi manusia.
Pemikiran St. Augustine memang merupakan cenderung memasukkan nilai-nilai supranatural ke dalam nilai-nilai duniawi. Ia menafsirkan dan memodifikasi kekuatan-kekuatan besar intelektual dan budaya dalam sinaran wahyu Kristen. Aspek sangat penting dari pemikiran Augustine lainnya adalah dasar teologis yang diberikannya pada wilayah hak-hak manusia.[6]
2.    Thomas Aquinas (1225 – 1274)    
Thomas menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah binatang social dan politik. Menusia saling memenuhi satu sama lain, dan untuk mencapai tujuannya, manusia harus menggunakan akal pikirannya yang telah diberikan oleh alam. Thomas membicarakan tiga macam hukum dan hubungan yang terdapat di antara hukum-hukum itu:
a.    Hukum Abadi (Lex Aeterna) atau kebijaksanaan ilahi sejauh merupakan dasar segala penciptaaan.
b.    Hukum Kodrat (Lex Naturalis) adalah dasar semua tuntutan moral. Dengan demikian, ia pada akar hukum moral menolak segala paham kewajiban yang tidak dapat dilegitimasikan secara rasional dari kebutuhan manusia yang sebenarnya.
c.    Dari prinsip diatas, ia menerapkan dalam hukum buatan manusia (Lex Humana). Hukum manusia hanya berlaku jika menurut dua dimensinya berdasarkan Hukum Kodrat, isinya harus sesuai dengan Hukum Kodrat, dan pihak yang memasang hukum itu memiliki wewenangnya berdasarkan Hukum Kodrat.
Itulah pandangan Thomas Aquinas yang menginginkan bahwa kekuasaan harus memiliki legitimasi etis. St. Thomas Aquinas tak pernah menjelaskan bagaimana bimbingan gereja terhadap Negara dijalankan secara kelembagaan bentuk pemerintahan terbaik menurutnya adalah monarki (kerajaan). Selain St. Augustine, Thomas Aquinas, Dante yang cenderung sangat gerejawi. Ada beberapa nama yang layak dicatat disini:
-          Marsilius dari Padua (1270-1340) ia mengadopsi definisi Aristoteles mengenai kewarganegaraan sebagai “setiap orang yang berpartisipasi dalam komunitas sipil, dalam dewan atau lembaga, menurut jabatannya”.
-          John Wycliffe (1320-1384), menurutnya kekuasaan ketuhanan dilaksanakan atas manusia tidak dengan perantara, tetapi secara langsung.
-          Jean Gerson (1363-1429), baginya konsili adalah kekuasaan tertinggi. Gerson ingin mengatur hak-hak Paus, raja dan rakyat dalam bentuk konstitusi.
-            Nicolas Cusa (1401-1464), menurutnya seorang pejabat negara harus melaksanakan undang-undang dan mereka harus terikat dengan undang-undang itu.
Pemikiran-pemikiran dinamis semacam inilah yang mempengaruhi pemikiran politik dikalangan pengikut dan tokoh Kristen. Intinya adalah bahwa mereka telah melihat pemerintahan dan Negara yang terlalu didominasi gereja justru tidak memberi ruang demokrasi bagi masyarakat, serta tidak memberikan kesejahteraan umum. [7]
D.  Pemikiran Politik Zaman Modern.
1.      Reformasi Martin Luther
Martin Luther tidak puas dengan hierarki gereja dan hukum gereja. Mula-mula Luther mengajarkan bahwa kaum Kristen boleh membela diri terhadap pemerintahan yang sewenang-wenang. Jika kaisar melanggar undang-undang, baginya rakyat tak usah mematuhinya. Dia menganggap bahwa Negara harus menentukan batas-batas kesabaran dan harus membrantas bid’ah. Menurutnya, Negara adalah suci, raja-raja hanya bertanggung jawab pada Tuhan. Kekuasaan Negara lebih tinggi daripada kekuasaan gereja dan hak yang berasal dari Tuhan.[8]   
2.      John Calvin (1509-1564)
Ia merupakan pengikut Luther, tetapi dalam pandangan pilitiknya tidak konservafif. Calvin setuju dengan pandangan Luther mengenai ordinasi ketuhanan mengenai kekuasaan sekuler serta keharusan untuk tunduk secara pasif pada otoritas semacam ini. Ia ingin menjembatani pertentangan dialektik antara masyarakat agama dan masyarakat sekuler  dan membangun kembali status moral tatanan politik tanpa menjadikannya tampak sebagai pengganti bagi masyarakat religious.
Negara berfungsi sebagai instrument untuk membangun kerajaan Tuhan. Ia menjadikan Negara sebagai agen sejati dari kekuasaan agama dan menggabungkan dua kekuasaan ditangan yang sama, hanya saja dalam kasus ini kekuasan itu ada ditangan agama bukan Negara.[9]
3.      Monarchomachs
Istilah “monarchomachs” yang berarti ‘pembantah raja’. Salah stu yang mereka persoalkan adalah hubungan antara gereja dan Negara. Pada tahun 1579, karya mereka Vindiciae contra tyrannos atau Grounds of Rights againts Tyrants. Dalam buku ini berpegang pada teori bahwa penguasa sekuler, meskipun kedudukannya adalah kedudukan yang suci, kekuasaannya secara langsung berasal dari rakyat dan karenanya bertanggung jawab kepada mereka. [10]
4.      Noccolo Machiavelli (1469-1527)
Menurut kaum moralis, ia dicela sebagai guru politik yang mengajarkan muslihat, penipuan, dan penghianatan, serta kejahatan. Dia juga dianggap penggagas totalitarianism politik modern.
Niccolo Machiavelli lahir di Florence, Italia, 3 Mei 1469 dan meninggal pada 21 Juni 1527 saat ia berumur 58 tahun. Seorang ahli teori, utamanya dalam realitas teori politik, ia sangat disegani di Eropa semasa hidupnya. Tentu karena ia bukan hanya seorang pemikir, melainkan juga seorang praktisi politik. Machiavelli berpandanagn bahwa agama dan politik tidak boleh saling dikaitkan. Baginya, kekuasaan dan Negara hendaknya dipisahkan daari moralitas dan Tuhan. Kekuasaan sebagai tujuan bukan instrument untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas dan agama. Ia memang ahli dan filsuf politik pertama yang mendiskusikan fenomena social politik tanpa merujuk pada sumber-sumber etis ataupun hukum. Hal itu merupakan pendekatan dalam ilmu politik yang untuk pertama kalinya dalam sejarah ilmu dan teori politik bersifat murni ilmiah terhadap gereja kekuasaan. Dapat dikatakan bahwa pengaruh pemikirannya dipengaruhi oleh perkembangan politik yang dilihatnya.   [11]
5.      Jean Bodin (1530-1596)
Jean Bodin adalah seorang pengacara dan sarjana hukum dari Toulouse, yang pada 1551 datang di Paris dan tinggal di dekat istana. Dalam karyanya yang untuk masanya cukup aneh “Heptaplomeres” ditegaskan dalam karya itu bahwa tujuh organisasi gereja mendapat hak sepenuhnya untuk berdiri, asal saja mereka tidak melanggar undang-undang Negara. teori kedaulatan yang dibangun atas pemahamannya tentang Negara yang didefinisikan sebagai “pemerintahan yang tertata dengan baik dari beberapa keluarga serta kepentingan bersama mereka oleh kekuasaan yang berdaulat”. Bodin menganggap bahwa Negara mempunyai asal usulnya dalam kekuatan dan kekerasan. Disinilah, ia mengatakan bahwa elemen yang membedakan Negara dari semua bentuk asosiasi manusia yang lain adalah kedaulatan. [12]
6.      Hugo Grotius (1583-1645)
Hobbes dilahirkan di Malmesbury (Inggris) pada tahun 1588. Ia menuliskan dua buku yang membuatnya sangat terkenal sebagai pemikir politik, Negara, dan hukum, yaitu De Cive (tentang warga Negara) pada tahun 1642 dan Leviathan (1651). Bagi Hobbes keberadaan Negara itu seperti dia, yang memiliki kekuatan memaksa, menghukum, dan membuat orang harus patuh padanya. Oleh karenanya, Negara harus kuat sepertinya, tak boleh lemah. Jika Negara lemah , akan timbul konflik dan guncangan, anarki, perang sipil di dalam, dan membuat kekerasan tak mempu mengendalikan pertengkaran antara umat menusia yang memiliki kepentingan.  [13]
7.      Thomas Hobbes (1588-1679)
Locke dilahirkan di sekitar Bistol sebagai anak seorang sarjana hukum. Dibidang politik, Locke adalah pelopor banyak gagasan liberal yang pada masa selanjutnya, terutama di abad 18 berkembang pesat. Dialah pemikir pertama yang menggagas prinsip pembagian kekuasaan yang ditegaskan Montequieu. Locke melontarkan bahwa kekuasaan legislative dan eksekutif harus dipisahkan jika ingin menghindari terjadinya kezaliman kekuasaan. Untuk menciptakan undang-undang dan raja atau pemerintah harus menerapkannya. Dari situ Locke merupakan pemikir yang mencita-citakan persamaan karena antar-manusia merupakan hukum kodrat yang membedakan secara signifikan keadaan alamiah dan keadaan perang. Menurut Locke manusia ketika lahir memiliki kebebasan dan hak asasi. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) dan kekuasaan hukum adalah dua macam perjanjian masyarakat, yaitu mengacu pada perjanjian antar-individu untuk membentuk negara dan bersama-sama menyerahkan hak untuk mempertahankan kehidupan dan hak untuk menghukum yang bersumber dari alam. [14]
8.      John Locke (1632-1704
Ajaran Locke tentang negara mempunyai pengaruh yang sangat besar di berbagai belahan dunia. Konsep government by consent of the people (pemerintahan berdasarkan persetujuan rakyat) dan paham kepercayaan (trust) rakyat kepada pemerintah sebagai dasar legitimasinya termasuk paham-paham dasar ilmu politik modern. Kekuasaan tidak lagi dapat menghindari pertanggungjawaban dengan menggunakan argumen bahwa ia hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Dengan demikian, Locke mengaitkan kembali wewenang pemerintahan pada “delegation”, pada penyerahan pemerintahan itu oleh mereka yang diperintah. Locke membongkar dasar dari klaim raja bahwa kekuasaan mutlak dan tidak terbatas.
Kekuasaan politik, menurut Locke, adalah suatu keadaan alamiah (state of nature) yang di dalamnya terdapat hukum alam yang tidak lain adalah hukum Tuhan yang mengatur keadaan alamiah. Keadaan alamiah ini mendahului eksistensi negara. Dalam keadaan alamiah, manusia itu sama dalam pengertian bahwa semua memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan mereka. Manusia secara alamiah sebenarnya baik. Oleh karena itu, keadaan alamiah tampak sebagai “a state of peace, good will, mutual assistance, and preservation”. Hak dasar terpenting manusia adalah hak atas hidup dan hak untuk mempertahankan diri. Dengan demikian, manusia dalam keadaan alamiah sebenarnya sudah mengenal hubungan-hubungan sosial. Pandangan Locke yang sangat positif dalam memandang state of nature manusia ini sangat berbeda dengan pendahulunya, yakni Thomas Hobbes yang penuh curiga terhadap state of nature manusia.[15]
9.      Montesquieu (1689-1755)
Montesquieu menetapkan dua prinsip penting dalam teori politik. Pertama semua masyarakat bersandar pada solidatitas kepentingan, kedua adanya suatu masyarakat bebbas hanyalah di atas dasar penggabungan keutamaan warga negara, seperti Rebulik masa lampau.
Kedua, sejarah kebesaran dan ejatuhan Romawi (Considations on the greatness and decline of the Romans). Buku yang kedua ini adalah sebuah karangan pendek bersifat sementara yang diterbitkan di Belanda
tahun 1734, juga secara anonym. Namun, akhirnya bisa beradar secara bebas di Prancis. Walaupun buku ini kurang terkenal, pembahasannya tentang sejarah kekaisaran Romawi merupakan dokumen sejarah paling lengkap tentang masyarakat politik. Studinya tentang masalah ini membawanya pada konsep yang dikembangkan dalam The Spirit of Laws.
Ketiga, karya besar Montesquieu adalah semangat hukum (The Spirit of Laws). Tidak seperti dua karyanya terdahulu, pemikiran Montesquieu dalam The Spirit of Laws memberikan alternative-alternatif politik yang masuk akal, yaitu:
1. Hukum dan bentuk pemerintahan ditentukan oleh banyaknya orang yang berkuasa dan prinsip nilai yang digunakan.Pemerintahan dibagi menjadi tiga macam: republik, monarki, dan depotis.
2. Kondisi di atas mempengaruhi gagasannya tentang
Trias Politica yang memisahkan kekuasaan Negara dalam tiga bentuk kekuasaan (eksekutif, legistif, dan yudikatif).
3.
Dua factor utama yang membentuk watak masyarakat, yaitu secara fisik dan mental. Faktor moral juga berpengaruh penting terhadap agama, kebiasaan, ekonomi, dan perdagangan.
10.  Jean Jacques Rousseau (1712-1778)
1. State of nature manusia dalam pandangan Rousseau
Rousseau berpendapat bahwa manusia mempunyai keadaan alamiah atau keadaan azali dalam dirinya sebagai suatu individu yang bebas atau merdeka tanpa adanya suatu intervensi atau paksaan dari manapun . meskipun mempunyai kebebasan yang mutlak, manusia tidak ingin atau memiliki keinginan untuk menaklukan sesamanya karena manusia alamiah bersifat tidak baik maupun tidak buruk. Mereka hanya mencintai dirinya sendiri secara spontan dan berusaha untuk menjaga keselamatan dirinya dan memuaskan keinginan manusiawinya.
Menurut Rousseau, manusia abad pencerahan sudah mengubah dirinya menjadi manusia rasional. manusia rational hanya mementingkan faktor material untuk memenuhi kebutuhan dirinya. faktor-faktor non-materail berupa perasaan dan emosi mengalami pengikisan yang berakibat manusia seolah-olah hanya bergerak menurut rasionya saja.. Abad Pencerahan menurut Rousseau adalah abad pesimisme total. Pemikir-pemikir pencerahan, perkembangan teknologi dan sains menyebabkan dekadensi moral dan budaya. Akibatnya, manusia menjadi rakus dan tamak sehingga terjadi kerusakan dan penghancuran besar-besaran bagi keberlangsungan manusia, baik itu alam maupun manusianya sendiri. Oleh sebab itu, Rousseau berpikir bahwa manusia seharusnya kembali pada kehidupannya yang alamiah yang memiliki emosi dan perasaan untuk mencegah dan terhindar dari kehancuran total.[16]
11.  Hegel (1770-1831)
Filosofi Hegel ini sangat menerapkan dan mendiskripsikan demokrasi di tengah maraknya anti-demokrasi pada saat itu. Hegel ini sendiri bercermin dari apa peristiwa revolusi Perancis membuahkan tiga kunci utama filosofi Hegel yakni; Spirit, Freedom and Sociality (Klikauer 2012, 654). Hegel dalam filosofinya jelas menerangkan bahwa ketiga kata kunci tersebut sangat berkaitan erat dengan hak Individu. Hegel menerangkan konsep freedom atau kebebeasan yang ia tekankan bukan merupakan pilihan atau opsi yang diberikan oleh negara melainkan memang telah menjadi hak dari setiap Individu tersebut.
Bagi hegel, politik dikomplementasikan sebagai mode pikiran yang sifatnya absolut laiknya sebuah seni, filosofi, maupun agama. Penjabaran politik oleh Hegel sendiri tidak secara spesifik mengarah pada perjanjian-perjanjian politik, tetapi lebih kepada relasinya dengan berbagai isu-isu yang banyak berkembang.Selama masa ajaran di Berne, pemikiran Hegel banyak terpengaruh oleh pemikiran Immanuel Kant, atau yang lebih dikenal dengan filosofi Kantian, tentang semangat kebebasan. Baik dalam permasalahan ekonomi dan politik yang didalaminya, Hegel ‘menyerang’ sistem-sistem feodalisme beserta struktur oligarki di Bernese Administration yang menyerukan tentang persamaan hak individu. Sementara, dalam negara sendiri yang dianggap Hegel sebagai sebuah organ politik, tidak terdapat a pembagian kekuasaan, dimana penyerapan fungsi legislasi dan yudikasi berada dibawah otoritas eksekutif.[17]

BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Dari uraian diatas dapat kami simpulkan bahwa banyak pemikiran- pemikiran yang berpengaruh di zaman Yunani Kuno, Romawi Kuno, dan sebagainya, yang mempengaruhi pemikiran khususnya politik pada zaman sekarang ini.

B.     Saran
Dalam membuat makalah ini tentu penulis melakukan kesalahan yang tidak sengaja, untuk itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membantu demi perbaikan penyusunan makalah kedepannya.




















DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Ebyhara. 2010. Pengantar Ilmu Politik. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA
www.pemikiran politik John Locke.com
http://sociahttp://ikadevihardianti-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-83224-Pemikiran%20Politik%20Barat-Pemikiran%20Politik%20Hegel.html




[1]Abu Bakar Ebyhara, Ph. D,Pengantar Ilmu Politik,(Jogjakarta:AR-RUZZ MEDIA,2010), hlm. 92-94.
[2]Ibid., hlm. 94-98.
[3]Ibid., hlm.98-105.
[4]Ibid., hlm.106-109.
[5]Ibid., hlm . 113-115.  
[6]Ibid,. hlm.119-125.
[7]Ibid,. hlm.125-132.
[8] Ibid,.hlm.134-137.
[9] Ibid,.hlm.137-139.
[10] Ibid,.hlm.139-140.
[11]Ibid,.hlm.140-144.
[12]Ibid,.hlm.144-146.
[13]Ibid,.hlm.146-147.
[14]Ibid,.hlm.147-151.
[15]www.pemikiran politik John Locke.com
[16]http://socialpoliti.blogspot.com/2013/06/pemikiran-politik-jean-jasques-roussesau.html
[17] http://ikadevihardianti-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-83224-Pemikiran%20Politik%20Barat-Pemikiran%20Politik%20Hegel.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar