Rabu, 04 Juni 2014

kerajaan Sunda


KERAJAAN SUNDA

Tugas ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia Pra-Islam
Dosen pengampu: Drs. H. Maman A. Malik Sy., M.S.



Disusun oleh:
1.    Aminah
2.    Siti Fatimah
3.    Nafi’ Rotus Sholikah

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014





1.      Pusat Kerajaan Sunda yang berpindah-pindah
Pusat kerajaan yang berpindah-pindah, bukanlah hal yang asing di dalam perjalanan sejarah Indonesia. Pemindahan pusat-pusat kerajaan itu, disebabkan oleh berbagai macam alasan, yaitu ekonomi, keamanan, politik, dan lain-lain. Perpindahan itu juga disebabkan karena adanya bencana alam. Di Jawa Barat juga terjadi beberapa kali perpindahan pusat kerajaan. Barangkali, sebernarnya di Jawa Barat hanya terdapat sebuah kerajaan saja setelah keruntuhan kerajaan Tarumanegara menjelang akhir abad VII M, sedangkan nama-nama yang sekarang dianggap sebagai nama kerajaan adalah nama ibukota atau pusat kerajaan tersebut.
A.    Pusat Kerajaan Galuh
Perlu kita ketahui bahwa masyarakat Sunda masa lampau adalah masyarakat ladang yang senantiasa berpindah-pindah tempat sesuai dengan tingkat kesuburan tanah garapan mereka, maka terjadinya perpindahan pusat kerajaan ini pun, berhubungan dengan latar belakang sosial dan budaya. Jika dugaan itu benar, maka kerajaan Sunda telah beberapa kali berpindah pusat kerajaan yang dimulai dari Galuh dan berakhir di Pakwan Padjajaran.
Sebelum kita menyimpulkan apa gerangan nama kerajaan di Jawa Barat, ada baiknya jika melihat sebutan apa yang dikenal di luar Jawa Barat. Menurut berita Portugis yang berasal dari Tome Pires (1513), menyebut kerajaan yang berkuasa di Jawa Barat dan mengadakan hubungan dagang dengan Portugis “Regno de Cumba”  yang berarti kerajaan Sunda pada abad XVI. Demikian pula berita Antonio Pigafetta (1522) yang memberitakan Sunda sebagai daerah yang banyak menghasilkan lada. Juga dari beberapa sumber asli yang turut menyebutkan keberadaan kerajaan Sunda, sumber asli tersebut antara lain, adalah prasasti Rakryan Juru Pangambat tahun 932 M, ditemukan di desa Kebon Kopi Bogor, kutipannya yang berbunyi “memulihkan raja Sunda”. Sumber kesusastraan, Cerita Parahyangan akhir abad XVI menyebut Sunda sebagai nama kawasan. Demikian pula naskah Siksa Kanda ng Karesian tahun 1518 M, juga berita dari Cina zaman Dinasti Ming ( 1368-1643 M) menyebut adanya Sun-la. Dari bukti-bukti tersebut dapat disimpulkan bahwa daerah Jawa Barat umumnya dikenal dengan nama Sunda. Sedang nama lain yang berhubungan dengan daerah ini adalah nama pusat kerajaan.
Menurut naskah Kropak 406, Maharaja Terusbawa digantikan oleh Maharaja Harisdarma kemudian Harisdarma berputra Rahyang Tamperan lalu Rahyan Tamperan berputra Rahyang Banga. Dalam Cerita Parahyangan disebutkan bahwa Rahyang Tamperan adalah anak Sanjaya maka dengan demikian, tokoh Harisdarma pada K.406 adalah Sanjaya pada Cerita Parahyangan. Dari berita itu dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara Harisdarma atau Sanjaya, Tamperan, dan Banga adalah hubungan darah. Sedang hubungan antara Harisdarma dengan Terusbawa adalah mertua dengan menantu. Terusbawa menurut K.406 ini tidak lain adalah tokoh Tohaan di Sunda menurut Cerita Parahyangan yang disebutkan menjadi mertua Sanjaya, Ia adalah penguasa Pakwan Padjajaran. Dan berita ini dapat diartikan bahwa masa pendirian Pakwan Padjajaran kira-kira sejaman dengan Galuh yaitu sekitar awal abad VIII M.
Pada tahun 723 M, ditemukan prasasti Canggal yang menceritakan kemenangan Sanjaya. Prasasti ini berbahasa Sansekerta, selain menyebut nama Sanjaya, prasasti ini juga menyebut Sanna dan Sannaha. Disebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sannaha, saudara perempuan raja Sanna. Sanna adalah anak Mandiminyak dari hubungan gelap dengan Pwah Rababu istri dari Rahyang Sempakwaja. Rahyang Sempakwaja adalah kakak sulung Mandiminyak, raja Galuh. Dari hubungan itu lahirlah Sanna, rupanya Mandiminyak dari pernikahannya dengan sang permaisuri tidak memiliki putra mahkota lelaki, maka sepeninggal Mandiminyak ia digantikan oleh Sanna. Sedangkan, Sannaha adalah anak dari Mandiminyak dengan sang permaisuri. Dalam Cerita parahyangan disebutkan bahwa Sanna menikah dengan Sannaha dan dari pernikahan itu lahirlah Sanjaya. Cerita Parahyangan menghubungkan tokoh Sanjaya ini dengan pusat kerajaan Galuh, karena disitu dikatakan bahwa Sanna berkuasa di Galuh. Pada suatu ketika, terjadi rebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu raja Sanna. Sanna bersama keluarganya dibuang ke gunung Merapi hingga Sanjaya dewasa dan meminta perlindungan kepada saudara tua ayahnya di Denuh. Akhirnya Sanjaya bisa mengalahkan Rahyang Purbasora, sehingga dapat mengangkat dirinya sebagai raja di Galuh.
B.     Pusat kerajaan Pahajyan Sunda
Pada prasasti Sanghyang Tapak yang berbahasa Jawa Kuna dan hurufnya Kawi tahun 1030 M. dalam prasasti ini, nama tokoh yang disebut ialah Maharaja Sri Jayabhupati, sedangkan daerah kuasanya disebut Prahajyan Sunda. Prasasti ini juga menarik, karena gelar yang dipergunakan Jayabhupati ternyata sangat mirip dengan gelar raja Airlangga di Jawa Timur yang memerintah pada masa yang bersamaan pula. Tetapi, berdasarkan bahasa dan isi prasastinya itu sendiri, memang harus diakui bahwa tentulah ada hubungan tertentu antara Jawa Barat dan Jawa Timur pada waktu tersebut. Pernyataan Sri Jayabhupati berulangkali bahwa ia adalah “haji ri Sunda”, raja di Sunda, dapat dianggap sebagai usahanya untuk lebih meyakinkan orang akan kedudukannya sebagai raja Sunda. Prasasti berbahasa Sunda pada umumnya tidak memuat kutukan yang demikian mengerikan, tetapi berisi harapan bagi mereka yang melakukan apa yang dianjurkan dan memperoleh kebahagiaan, sedangkan yang melanggarnya, celaka. Prasasti yang dikeluarkan oleh Jayabhupati sebenarnya disebabkan karena ia sadar, dirinya adalah seorang yang berbudaya lain ditengah penduduknya yang berbudaya Sunda. Prasasti itu menyebutkan, bahwa pada tahun 1030 M Jayabhupati membuat tepek (semacam daerah larangan) di sebelah timur Sanghyang Tapak. Daerah larangan itu berupa sebagian dari sungai yang kemudian ditutup untuk segala macam penangkapan ikan. Sanghyang Tapak yang dimaksud pada prasasti itu, diduga tapak kaki yang ditemukan trepahat pada batu di puncak Gunung Perbakti, daerah Cicurug (Sukabumi).
Selanjutnya terbuka kemungkinan untuk menempatkan Sri Jayabhupati dalam suatu rangkaian kisah sejarah Sunda sebagai suatu kesatuan. Hal ini berarti bahwa prahajyan Sunda, kerajaan Sunda yang diperintah oleh Sri Jayabhupati itu merupakan suatu babak saja dari seluruh kisah kerajaan Sunda, jadi tidak merupakan suatu Negara atau kerajaan tersendiri. Menurut Cerita Parahyangan Rakeyan Darmasiksa sama dengan tokoh Sri Jayabhupati pada prasasti Sanghyang Tapak, maka dapat diduga bahwa pusat kerajaan Sunda pada masa pemerintahan Jayabhupati terletak di Pakwan Padjajaran, pusat kerajaan itu tidak lama kemudian berpindah lagi ke Kawali yang letaknya tidak jauh dari bekas pusat kerajaan Galuh pada masa Sanjaya.
Ditemukannya prasasti Horren menyebutkan bahwa penduduk kampung Horren merasa tidak aman karena ada kemungkinan datang musuh dari Sunda. Menurut Stutterheim, diduga prasasti ini berasal dari jaman Majapahit, maka sudah pasti prasasti itu berasal dari jaman setelah terjadinya peristiwa Bubat pada tahun 1357.
C.    Pusat Kerajaan Kawali
Pada jaman siapa pusat pemerintahan berpindah dari Pakwan Padjajaran ke Kawali, tidak dapat ditentukan dengan pasti. Menurut prasasti yang ditemukan di kampung Astanagede (Kawali) dapat diketahui bahwa pada masa pemerintahan Prabu Raja Wastu pusat kerajaan telah berada disitu. Dapat diperoleh keterangan bahwa Prabu Raja Wastu yang bertahta di kota Kawali dengan keratonnya bernama Surawisesa.
Prabu Raja Wastu pada prasasti Kawali ini merupakan tokoh yang sama dengan Rahyang Niskala Wastu Kancana, pada prasasti Batutulis dan Kebantenan yaitu kakek Sri Baduga Maharaja. Hal ini memberikan kemungkinan, bahwa Prabu Wastu memerintah di Kawali setelah meninggal kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Rahyang Ningrat Kencana pada prasasti Kebantenan atau Rahyang Dewa Niskala pada prasasti Batutulis. Dalam prasasti Kebantenan disebutkan bahwa Rahyang Ningrat Kencana adalah tokoh yang digantikan oleh Susuhunan di Pakwan Padjajaran, hingga dapat ditentukan bahwa Susuhunan adalah Sri Baduga Maharaja yang disebutkan dalam prasasti Batutulis.
Menurut prasasti Batutulis Rahyang Niskala Wastu Kencana dimakamkan di Nusalarang, sedangkan Rahyang Dewa Niskala di Gunatiga. Namun, berita ini bertentangan dengan Cerita Parahyangan yang menyebutkan bahwa tokoh Dewa Niskala atau Ningrat Kencana ini tidak disebutkan namanya, tetapi dikatakan sebagai Tohaan di Galuh. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sampai pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan Sunda masih terletak di Galuh tepatnya di sekitar kota kecil Kawali sekarang.
Menurut Pararaton, di tahun 1357 M terjadi peristiwa yang dikenal dengan Pasundan-Bubat, suatu pertikaian politik antara kerajaan Majapahit dan Sunda. Dari Cerita Parahyangan sudah jelas bahwa yang memerintah ketika itu ialah Prebu Maharaja, karena dikatakan memerintah selama tujuh tahun. dapat diperkirakan bahwa ia mulai menjadi raja pada tahun 1350 M, bersamaan dengan naik tahtanya Hayam Wuruk di Majapahit. Dalam pertempuran Bubat, hamper seluruh pasukan Sunda gugur. Cerita Parahyangan memberitakan bahwa sang raja masih mempunyai seorang anak yang dikenal dengan Niskala Wastu Kencana pada prasasti Kawali, Batutulis, dan Kebantenan. Ketika terjadi peristiwa Bubat, Wastu Kencana masih kecil sehingga pemerintahannya sementara diserahkan kepada pengasuhnya yaitu Hyang Bunisora.
Menurut Cerita Parahyangan dengan berpegang pada tahun 1579 yaitu tahun keruntuhan kerajaan Sunda, maka dapat ditentukan bahwa Hyang Bunisora memerintah selama 14 tahun, bukan enam tahun. adanya selisih tahun ini disebabkan karena perbedaan menafsirkan kata sadewisada yaitu lamanya masa pemerintahan raja Sunda terakhir Nusiya Mulya, yang seharusnya 12 tahun, menjadi 20 tahun. dengan demikian Hyang Bunisora memerintah pada 1357-1571 M.
Setelah dewasa Wastu Kencana menerima kembali tampuk pemerintahan dari Hyang Bunisora. Ia memerintah cukup lama yaitu 104 tahun, hal ini disebabkan karena Wastu Kencana selama memerintah selalu baik dalam menjalankan agama, serta memperhatikan kesejahteraan rakyat. Dibandingkan pemberitaan dengan raja-raja yang lain cukup menarik bahwa khusus tentang Prabu Niskala Wastu Kencana dalam Cerita Parahyangan menyediakan cukup banyak tempat dan isinya berupa pujian terhadap raja dan yang lain cukup satu atau dua kalimat saja.
Prabu Niskala Wastu Kencana memerintah selama 104 tahun (1371-1471 M), kemudian digantikan anaknya yang bernama Tohaan di Galuh ia memerintah selama tujuh tahun. ia memerintah tidak lama karena salah tindak jatuh cinta kepada wanita terlarang dari luar.
D.    Pusat Kerajaan di Pakwan Padjajaran
Ningrat Kencana atau Tohaan di Sunda digantikan oleh anaknya sendiri yaitu Sang Ratu Jayadewata menurut Cerita Parahyangan ia memerintah selama 39 tahun. pada prasasti Kebantenan, tokoh ini disebut sebagai Susuhunan di Pakwan Padjajaran. Dalam prasati Batutulis disebut dengan nama Prabu Gurudewataprana, Sri Baduga maharaja Ratu Haji di Pakwan Padjajaran Sri Sang Ratu Dewata. Nama yang terakhir ini boleh dikatakan sama dengan yang sama-sama mengandung unsur dewata. Suatu hal yang menarik baik kraton Kawali maupun kraton Pakwan Padjajaran sama-sama mengandung arti sura, suatu hal yang masih dilanjutkan pada nama kraton Banten yaitu surasowan Surakarta atau Jayakarta suatu tempat yang sebelum jatuh ke tangan Islam bernama Sunda Kelapa.
Menurut Cerita Parahyangan, Sang Ratu Jayadewata menjalankan pemerintahannya berdasarkan kitab-kitab hukum yang berlaku, sehingga pemerintahannya berjalan dengan aman dan tentram. Pada masanya sudah ada penduduk kerajaan Sunda yang beralih agama. Berita Portugis yang berasal dari Tome Pires (1513), di Cimanuk kota pelabuhan yang sekaligus menjadi batas kerajaan Sunda disebelah timur banyak dijumpai orang Islam. Tetapi menyebarnya pengaruh Islam ini sudah diperhitungkan juga oleh Ratu Jayadewata.
Oleh berita Portugis pada tahun 1512 M dan 1521 M, Ratu Samiam atau Sanghyang dari kerajaan Sunda memimpin perutusan ke Malaka. Tetapi, ketika pada tahun 1522 M Hendrik de Leme memimpin perutusan Portugis ke Sunda yang beribukota di Dayo (kota), Ratu Samiam sudah berkuasa disana sebagai raja. Jika dikaitkan dengan Cerita Parahyangan, maka berarti bahwa Ratu Samiam nama lain dari Prabu Surawisesa, seorang raja yang gagah dan berani, yang menggantikan Sang Ratu Jayadewata dan memerintah selama 14 tahun (1521-1535 M). Ketika Prabu Ratudewata naik takhta masa pemerintahannya merupakan masa yang penuh derita.
Jatuhnya Sunda Kalapa, pelabuhan terbesar kerajaan Sunda ke tangan pasukan Islam pada tahun 1527 M, telah menyebabkan terputusnya hubungan antara pusat kerajaan Sunda yang terletak dipedalamn dengan daerah luar. Bala bantuan Portugis tidak pernah bisa sampai ke Dayo karena keadaan pada waktu itu tidak memungkinkan. Jalan niaga kerajaan Sunda satu-persatu jatuh ketangan Islam, sehingga raja hanya bisa bertahan di pedalaman. Prabu Ratu Dewata yang menggantikan Surawisesa, malah hidup sebagai raja pendeta dan tidak menghiraukan kesejahteraan rakyatnya. Pada masa pemerintahannya terjadi serangan-serangan yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Raja yang kemudian menggantikannya Sang Ratu Saksi (1543-1551 M), adalah seorang yang kejam dan Cuma main perempuan saja. Demikian pula penggantinya, Tohaan di Majaya (1551-1567 M), ia malah memperindah keratin, mabuk-mabukan, berfoya-foya serta melupakan tugasnya sebagai raja. Maka pada masa pemerintahan Nusya Mulya, raja terakhir, Negara pun sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Kerajaan Sunda dikalahkan oleh Islam pada akhir masa pemerintahannya.
2.      Struktur Kerajaan dan Birokrasi
Menurut catatan perjalanan Tome Pires dan sebuah naskah yang berasal dari tahun 1518 M yaitu, Sanghyang Siksakanda ng Karesian. Maka berdasarkan bahan-bahan yang ada itu, barangkali dapatlah disusun struktur kerajaan Sunda pada masa itu sebagai berikut. Ditingkat pemerintahan pusat, kekuasaan tertinggi berada di tangan raja. Dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari, raja dibantu oleh mangkubumi yang membawai beberapa orang nu nangganan. Disamping itu, terdapat pula putra mahkota, yang akan menggantikan kedudukan sang raja, jika raja meninggal dunia atau mengundurkan diri untuk mengurus daerah-daerah yang luas, raja dibantu oleh beberapa orang raja daerah. Raja-raja daerah itu dalam melaksanakan tugas mereka sehari-hari bertindak sebagai raja yang merdeka, tetapi mereka tetap mengakui raja sunda yang bertahta di Pakwan Pajajaran atau Dayo sebagai junjungan mereka. Dalam keadaan raja tidak meninggalkan pewaris tahta, maka salah seorang raja dari daerah-daerah itu dapat dipilih untuk menggantikan kedudukan sang raja sebagai raja besar dan bertahta di Pakwan Pajajaran. Sementara itu, untuk mengurus masalah yang langsung berhubungan dengan perniagaan, dikeenam buah bandarnya, raja di wakili oleh syah Bandar, yang bertindak untuk dan atas nama raja sunda di daerah yang mereka kuasai masing-masing. Struktur kerajaan yang seperti itu, rupanya yang paling sesuai dengan kodrat Kerajaan Sunda.
3.      Kehidupan Masyarakat Sunda
A.    Masyarakat Ladang
            Menurut naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian, memberikan keterangan cukup jelas tentang keadaan kelompok-kelompok masyarakat  kerajaan Sunda pada masa itu. Keadaan kelompok-kelompok itu tidak disebutkan berdasarkan katajenjang (hierarki) di dalam sistem birokrasi pemerintahan, tetapi pembagiannya berdasarkan fungsi yang dimiliki masing-masing kelompok itu, adanya kelompok ekonomi yang kemudian terbagi lagi kedalam beberapa golongan. Golongan tersebut dapat dibedakan seperti.
a). Kelompok masyarakat berdasarkan ekonomi yaitu : orang utas, pelukis, pandai tembaga, pandai mas, pandai gelang, pandai besi, pembuat wayang, penabuh gamelan, pembuat gamelan, penari, badut, dll.
b). Kelompok masyarakat yang bertugas sebagai alat negara yaitu : mantri, penjaga keamanan, prajurit, tentara, pemerang, dan jabatan dibawah mangkubumi.
c). Kelompok rohani dan cendekiawan terdiri dari memen (dalang) yang mengetahui berbagai macam cerita, paraguna yang mengetahui berbagai macam lagu dan nyanyian, hempul yang mengetahui berbagai macam permainan, prepantun yang mengetahui berbagai macam macam carita pantun.
            Semua kelompok masyarakat yang disebutkan diatas, di dalam melaksanakan darma atau tugas masing-masing sesuai dengan fungsinya, disebut ngawakkan tapa di nagara ( melaksanakan tapa ditengah negara). Pada masa kerajaaan Sunda juga sudah terdapat orang-orang yang memperoleh penghasilan yang tidak disukai masyarakat umumnya. Pekerjan itu antara lain merogo, mencopet, merebut, merampas, memasuki rumah orang, dan membegal. Matapencarian seperti itu disebut cekap carut, sesuatu yang pantang diturut, dan hal-hal seperti itu disebut sebagai guru nista, yaitu hal-hal yang dianggap sangat nista atau hina.
            Kerajaan Sunda adalah sebuah negara yang umumnya hidup dari pertanian terutama dari perladangan. Bukti-bukti atau petunjuk tentang masyarakat ladang ini, ditemukan dalam sumber-sumber sastra tulis maupun sastra lisan. Kehidupan diladang akan membentuk  manusia ang berwatak masyarakat ladang. Ciri yang menonjol masyarakat ini ialah selalu berpindah tempat, yang secara langsung turut memberi pengaruh terhadap bentuk bangunan tempat yang mereka tinggali. Masyarakat lading biasanya bertempat tinggal di ladangnya masing-masing, sehingga mereka hidup terpencil dari peladang lain yang menjadi tetangganya. Kerajaan Sunda mempunyai enam buah Bandar yang cukup ramai dan penting. Melalui keenam Bandar itulah dilakukan usaha niaga dengan daerah atau negara lain. Barang-barang dagangan yang merupakan sumber penghasilan kerajaa sunda pada umunya berupa bahan makanan dan lada.  Bandar-bandar kerajaan sunda oleh Tome Pires digambarkan sebagai berikut :
1        Banten , merupakan sebuah kota niaga yang baik, terletak di tepi sebuah sungai. Kota itu dikepalai oleh seorang syahbandar. Wilayah niaganya mencapai Sumatra dan Maladewa.
2        Pontang, merupakan sebuah kota yang besar, jalur niaga dan barang-barang yang diperdagangkan beras, makanan dan lada.
3        Cigede, juga sebuah kota yang besar. Perniagaan dari Bandar ini dilakukan dengan Priaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung dll.
4        Tamgara, yang juga termasuk kota yang besar. Barang niaganya sama seperti Bandar-bandar diata.
5        Kalapa, merupakan kota yang sangat besar, adalah pelabuhan kerajaan Sunda yang terpenting dan terbaik. Hubungan niaganya juga lebih luas, antara lain dengan Sumatra, Palembang, Lawe, Tanjungpura, Malaka, Makasar, Jawa dan Madura.
6        Cimanuk, merupakan pelabuhan kerajaan sunda yang paling timur, sekaligus menjadi batas kerajaan. Walaupun Bandar ini dikatakan sebagai sebuah Bandar yang besar dan cukup ramai, tetapi juga tidak dapat merapat. Di Bandar ini sudah banyak berdiam orang-orang  yang beragama islam, walaupun syahbandarnya sendiri masih seorang yang beragama sunda.
            Agama dan Budaya
            Agama dan budaya yang berkembang di kerajaan Sunda sangat identik dengan kebudayaan hindu. Pengaruh hindu ini rupanya cukup kuat, sehingga di dalam naskah sawakandarma yang juga disebut serat dewabuda yang berasal dari tahun 1357 kasa atau 1435 M, masih kita temukan nama-nama para dewa agama hindu seperti Brahma, Wisnu, dan lain-lain. Menurut naskah Sanghyang Siksa, pada masa kerajaan Sunda yang berlangsung sejak awal abad 8 hingga  menjelang akhir abad ke 16 M, kehidupan keagamaan kerajaan Sunda itu bercorak Hindu-Buddha yang telah berbaur dengan unsur agama leluhur sebelumnya. Sementara hasil kebudayaan yang berkembang pada masa itu diantaranya seni sastra, lukis, ukir, gamelan, dan sebagainya.
































pemikiran-pemikiran politik yang paling berpengaruh

MAKALAH
Pemikiran-Pemikiran Politik Paling Berpengaruh
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Politik
Dosen pengampu: Drs. Badrun Alaena, M.SI



Disusun oleh:
1.    Irfan Khanifudin
2.    Nafi’ Rotus Sholikah




PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014




BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pemikiran politik merupakan bidang kajian ilmu politik yang cukup penting. Kajian pemikiran politik memfokuskan pada penyelidikan pemikiran-pemikiran dari tokoh politik, filsuf politik, maupun kelompok sosial yang berpengaruh melalui ide-ide politiknya. Pemikiran politik berkaitan erat dengan sejarah, filsafat politik, dan hal-hal yang nilai, norma, etika, moralitas, dan idealisme politik.
Pemikiran politik terdiri dari elemen-elemen ide, obsesi, potensi intelektual, dan sosialisasi politik, yang merupakan representasi realitas lingkungan sosial mengenai masalah Negara, masyarakat, dan kekuasaan. Menurut Alfian (1986) potensi intelektual yang dimiliki seseorang memengaruhi pemikirannya, dan juga proses sosial yang pernah diterima dari pengalaman kehidupan dan lingkungannya, misalnya lingkungan keluarga, pendidikan, atau organisasi sosial-politik yang pernah diikutinya. Singkat kata, disamping faktor kecerdasan, corak pemikiran seseorang juga banyak dipengaruhi oleh proses sosialisasi yang pernah didapatkannya dari lingkungan.
Pemikiran politik mengalami perjalanan sejarah yang panjang dan tiap-tiap sejarah menunjukkan suatu gagasan yang berbeda. Berabad-abad lamanya manusia mulai berpikir tentang dunia, termasuk politik, Negara, dan hukum. Pemikiran itu mengiringi lahirnya peradaban-peradaban yang muncul.

B.  Rumusan Masalah

a.    Bagaimana pemikiran politik pada masa yunani kuno?
b.    Bagaimana pemikiran politik pada masa romawi kuno?
c.    Bagaimana pemikiran politik zaman pertengahan?
d.   Bagaimana pemikiran politik modern?




BAB II
PEMBAHASAN
A.  Yunani Kuno
a.      Negara kota Yunani
Di era Yunani kuno, tepatnya di Athena, kesadaran masyarakat tentang mengizinkan warga negaranya untuk mengeluarkan pendapat tentang negara dan kekuasaan secara kritis telah terjadi. Kesadaran masyarakat semacam itu mula-mula dimulai oleh beberapa faktor kejadian, misalnya sifat agama yang tidak mengenal Tuhan, juga ada faktor yang lain misalnya, keadaan geografis negerinya yang membuatnya mengarah kepada perdagangan dan kolonisasi.
Tradisi berpikir filsuf telah lama terjadi. Milite, salah satu Koloni Yunani, adalah tempat lahirnya filsafat. Berawal dari munculnya pertanyaan yang kosmologis, tentang bangun dan susunan alam semesta. Setelah meniggalnya pericles pada tahun 429 M, di Athena mulai muncul filsafat yang radikal, dan demokrasi mulai menjadi masalah banyak orang yang membutuhkan pemecahan bersama. Dari sinilah muncul para filsuf besar. Para pemuda mengigninkan jawaban yang bijak tentang masyarakat dan negara.
Demokrasi mencapai puncak perkembangannya di Athena selama abad ke-5 SM. Unit pemerintahan yang dikenal pada saat itu adalah apa yang ada dalam sejarah politik disebut sebagai”Negara kota” atau “polis”. Sebuah organisasi politik yang unik dan tak ada padanannya di masa modern. Di Yunani ada ratusan polis dengan berbagai ukuran dan bentuk pemerintahan, akan tetapi, yang paling dikenal karena kemajuannya adalah Athena.[1]
b.      Socrates
Socrates memang tak memberikan sumbangan langsung bagi pemikiran politik. Dia lebih banyak tertarik pada individu dan hanya secara insidential memiliki ketertarikan pada masalah negara sebagai lembaga politik. Sumbangannya secara langsung pada masalah filsafat pemerintahan ada tiga hal. Pertama, tegaknya material secara induktif. Upaya Socrates untuk mencurahkan perhatiannya pada perkembangan metodologi atau model prosedural untuk mencapai kebenaran sampai pada ditemukan metode definisi atau dialektika dalam hal pengujian secara kritis terhadap kebenaran opini.
Melalui proses Tanya jawab secara terus- menerus, dia berupaya untuk menembus esensi atau hakikat subjek, seperti keadilan atau kebebasan, untuk sampai definisi yang universal. Kedua, formulasi doktrin bahwa kebaikan adalah pengetahuan. Menurutnya, orang yang baik adalah orang yang mengetahui, sedang yang bodoh adalah orang yang berdosa. Pengetahuan yang benar akan membimbing pada tindakan yang benar, tindakan yang jahat adalah akibat dari wawasan yang kurang baik. Ketiga, ajaran tentang moral. Menurutnya, ada ukuran objektif tentang baik-buruk, indah-jelek, dan sebagainya. Itu semua dapat ditemukan karena sukma manusia mempunyai bagian dalam yang umum. Socrates menegaskan bahwa terdapat prinsip-prinsip moralitas yang tidak berubah dan universal yang terdapat pada hukum-hukum dan tradisi-tradisi yang beragam di berbagai wilayah Negara. Dia menegaskan pula bahwa norma-norma kebenaran itu bebas dan penting untuk opini individu.
Kaitanya dengan negara, Socrates mengatakan bahwa Negara tidak boleh dipandang sebagai ciptaan manusia, tetapi sebagai keharusan yang objektif, yang asal mulanya berpangkal dari diri manusia. [2]
c.       Plato
Plato berusia 29 tahun pada saat Socrates dihukum mati. Plato menulis kumpulan “epistles” dan sekitar 25 dialog filsafat dengan gurunya. Plato juga mendirikan sekolah filsafat di hutan kecil.
Filsafat plato tentang politik dapat diringkas menjadi beberapa hal:
1.      Kebijakan adalah pengetahuan
Dalam hal ini ada 3 konsep yang harus di pahami. Yaitu, kebenaran harus objektif dan tidak berubah agar kita bisa mencapai pengetahuan mengenainya, kedua, karena kebijakan disamakan dengan pengetahuan, orang yang mengetahui harus diberi peran menentukan dalam urusan publik. Ketiga, negara harus berperan aktif dalam mendidik rakyatnya.
2.      Ketidaksetaraan antar manusia.
Bagi Plato, tidak ada kesetaraan idealitas di kalangan manusia untuk menghargai bakat dan kemampuan. Dia berpandangan bahwa alam membuat kemampuan manusia berbeda.
3.      Negara sebagai alamiah.
Bagi Plato, Negara dianggap sebagai keinginan dari tiap-tiap individu. Negara dianggap muncul karena keinginan manusia. Jadi asal mula negara terletak dalam kebutuhan dan keinginan manusia.
4.      Tujuan Negara
Tujuan Negara menurut Plato, adalah untuk kesejahteraan bersama. Kata Plato, “ tujuan kita menegakkan Negara bukanlah ketidakseimbangan kebahagiaan kelas tertentu, melainkan demi kebahagiaan buat semua”.[3]
d.      Aristoteles
Aristoteles adalah murid Plato, yang belajar di sekolah filsafatnya. Aristoteles sangat tertarik untuk memerhatikan perubahan atau proses alam. Filsafatnya, adalah ajaran tentang kenyataan atau ontologi, suatu cara berpikir realitas. Dalam sejarah pemikiran filsafat, Aristoteles dikenal sebagai peletak ilmu logika. Dia menunjukkan sejumlah hukum yang mengatur kesimpulan-kesimpulan atau bukti-bukti sah. Filsafatnya tentang manusia mengatakan bahwa “bentuk” manusia terdiri atas jiwa yang mempunyai bagian seperti tanaman. Tentang negara, ia mendefinisikan negara sebagai” komunitas keluarga dan kumpulan keluarga sejahtera demi kehidupan yang sempurna dan berkecukupan.[4]
B.  Pemikiran Politik Romawi Kuno
Dalam sejarah pemikiran politik, Romawi dapat dikatakan membawa gagasan yang merupakan transisi dari era Yunani Kuno menuju pemikiran Eropa Barat era modern. Periode Romawi dikenal bukan karena teori politiknya, tetapi karena hukumnya, dan hal tertentu juga karena administrasinya. Di bidang inilah Romawi meninggalkan warisanya pada dunia Barat
1.      Cicero
Pemikirannya tentang hukum dan negara telah dimulai sejak abad pertama sebelum masehi. Cicero memiliki dua karya yaitu De Republica dan De legibus berisi tentang negara dan undang-undang. Cicero menganggap bahwa negara itu sangat perlu dan harus didasarkan pada budi manusia. Mengenai bentuk pemerintahan, Cicero pun menganjurkan suatu bentuk yang merupakan gabungan dari ketiga bentuk pemerintahan. Namun, tiap penduduk harus mengambil bagian dalam pemerintahan. Tetapi, demokrasi akan menghadapinya sebagai lawan. Dalam praktiknya Cicero tetap tidak menyukai demokrasi. Alasannya , demokrasi dianggap menempatkan orang pada level yang sama dan tidak mengakui adanya pembedaan pangkat.
Pandangan Cicero tentang kesetaraan manusia jauh lebih maju dibandingkan pemikir Yunani. Plato dan Aristoteles, misalnya mengawali dengan perbedaan kelas dan mengiyakan alamiah. Sedangkan bagi Cicero, perbedaan dan ketidaksetaraan kelas justru bertentangan dengan nalar alam. Cicero menganggap bahwa manusia bisa berbeda dalam hal pengetahuan, namun sama dalam hal kapasitasnya untuk mendapatkan pengetahuan.[5]
2.      Seneca
Anggapannya tentang negara agak berbeda dari kaum Platonis, ia menganggap bahwa negara adalah lembaga masyarakat yang meupakan hasil samping dari dosa. Negara dan hukum manusia merupakan intitusi konvensional yang diperlukan karena adanya sifat manusia yang jahat dan bukannya karena kondisi alamiah mencapai kemajuan yang ideal.
Konsep penting tentang politik yang juga berpengaruh dari Sineca adalah konsep tentang dua pesemakmuran (commonwealth): satu, negara politik dengan pemerintah dan institusi hukumnya; yang lain masyarakat universal, persaudaraan manusia, yang ikatan-ikatannya lebih bersifat moral dan etis daripada legal dan politis. Masyarakat universal harus selalu menolak tuntutan-tuntutan dari Negara politik yang ikut campur dalam domainnya.
C.    Pemikiran Politik Zaman Pertengahan
1.      St. Augustine (334-430)
Augustine dianggap sebagai pencipta secara garis besar alam pikiran Zaman Pertengahan dari alam pikiran Kristen dan zaman kuno. Termasyhurnya Augustine dibentuk oleh sejarah di Romawi. Pemikirannya mampu menyelamatkan kondisi Romawi sekaligus kekuatan gereja yang dirongrong oleh situasi politik yang kacau.   
Hanya kekuatan gereja dengan organisasinya yang kian tumbuh meluas, dengan administratornya yang terlatih, dan semangatnya yang menyala yang mengisi kekosongan yang disebabkan oleh kekuasaan politik di Barat. Inilah kesempatan bagi Kristen untuk tampil ditengah-tengah masyarakat manusia. Augustine melontarkan pikiran politik keagamaan yang membangkitkan, melalui karya besarnya yang berjudul “The City of God (Civitas Dei)”. Sementara itu, dua belas bab terakhir buku tersebut melontarkan pandangannya tentang masyarakat, tentang Negara politik dalam konteks yang lebih luas mengenai hubungan Tuhan dengan kemajuan dan tahapan tertinggi manusia.
Pemikiran St. Augustine memang merupakan cenderung memasukkan nilai-nilai supranatural ke dalam nilai-nilai duniawi. Ia menafsirkan dan memodifikasi kekuatan-kekuatan besar intelektual dan budaya dalam sinaran wahyu Kristen. Aspek sangat penting dari pemikiran Augustine lainnya adalah dasar teologis yang diberikannya pada wilayah hak-hak manusia.[6]
2.    Thomas Aquinas (1225 – 1274)    
Thomas menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah binatang social dan politik. Menusia saling memenuhi satu sama lain, dan untuk mencapai tujuannya, manusia harus menggunakan akal pikirannya yang telah diberikan oleh alam. Thomas membicarakan tiga macam hukum dan hubungan yang terdapat di antara hukum-hukum itu:
a.    Hukum Abadi (Lex Aeterna) atau kebijaksanaan ilahi sejauh merupakan dasar segala penciptaaan.
b.    Hukum Kodrat (Lex Naturalis) adalah dasar semua tuntutan moral. Dengan demikian, ia pada akar hukum moral menolak segala paham kewajiban yang tidak dapat dilegitimasikan secara rasional dari kebutuhan manusia yang sebenarnya.
c.    Dari prinsip diatas, ia menerapkan dalam hukum buatan manusia (Lex Humana). Hukum manusia hanya berlaku jika menurut dua dimensinya berdasarkan Hukum Kodrat, isinya harus sesuai dengan Hukum Kodrat, dan pihak yang memasang hukum itu memiliki wewenangnya berdasarkan Hukum Kodrat.
Itulah pandangan Thomas Aquinas yang menginginkan bahwa kekuasaan harus memiliki legitimasi etis. St. Thomas Aquinas tak pernah menjelaskan bagaimana bimbingan gereja terhadap Negara dijalankan secara kelembagaan bentuk pemerintahan terbaik menurutnya adalah monarki (kerajaan). Selain St. Augustine, Thomas Aquinas, Dante yang cenderung sangat gerejawi. Ada beberapa nama yang layak dicatat disini:
-          Marsilius dari Padua (1270-1340) ia mengadopsi definisi Aristoteles mengenai kewarganegaraan sebagai “setiap orang yang berpartisipasi dalam komunitas sipil, dalam dewan atau lembaga, menurut jabatannya”.
-          John Wycliffe (1320-1384), menurutnya kekuasaan ketuhanan dilaksanakan atas manusia tidak dengan perantara, tetapi secara langsung.
-          Jean Gerson (1363-1429), baginya konsili adalah kekuasaan tertinggi. Gerson ingin mengatur hak-hak Paus, raja dan rakyat dalam bentuk konstitusi.
-            Nicolas Cusa (1401-1464), menurutnya seorang pejabat negara harus melaksanakan undang-undang dan mereka harus terikat dengan undang-undang itu.
Pemikiran-pemikiran dinamis semacam inilah yang mempengaruhi pemikiran politik dikalangan pengikut dan tokoh Kristen. Intinya adalah bahwa mereka telah melihat pemerintahan dan Negara yang terlalu didominasi gereja justru tidak memberi ruang demokrasi bagi masyarakat, serta tidak memberikan kesejahteraan umum. [7]
D.  Pemikiran Politik Zaman Modern.
1.      Reformasi Martin Luther
Martin Luther tidak puas dengan hierarki gereja dan hukum gereja. Mula-mula Luther mengajarkan bahwa kaum Kristen boleh membela diri terhadap pemerintahan yang sewenang-wenang. Jika kaisar melanggar undang-undang, baginya rakyat tak usah mematuhinya. Dia menganggap bahwa Negara harus menentukan batas-batas kesabaran dan harus membrantas bid’ah. Menurutnya, Negara adalah suci, raja-raja hanya bertanggung jawab pada Tuhan. Kekuasaan Negara lebih tinggi daripada kekuasaan gereja dan hak yang berasal dari Tuhan.[8]   
2.      John Calvin (1509-1564)
Ia merupakan pengikut Luther, tetapi dalam pandangan pilitiknya tidak konservafif. Calvin setuju dengan pandangan Luther mengenai ordinasi ketuhanan mengenai kekuasaan sekuler serta keharusan untuk tunduk secara pasif pada otoritas semacam ini. Ia ingin menjembatani pertentangan dialektik antara masyarakat agama dan masyarakat sekuler  dan membangun kembali status moral tatanan politik tanpa menjadikannya tampak sebagai pengganti bagi masyarakat religious.
Negara berfungsi sebagai instrument untuk membangun kerajaan Tuhan. Ia menjadikan Negara sebagai agen sejati dari kekuasaan agama dan menggabungkan dua kekuasaan ditangan yang sama, hanya saja dalam kasus ini kekuasan itu ada ditangan agama bukan Negara.[9]
3.      Monarchomachs
Istilah “monarchomachs” yang berarti ‘pembantah raja’. Salah stu yang mereka persoalkan adalah hubungan antara gereja dan Negara. Pada tahun 1579, karya mereka Vindiciae contra tyrannos atau Grounds of Rights againts Tyrants. Dalam buku ini berpegang pada teori bahwa penguasa sekuler, meskipun kedudukannya adalah kedudukan yang suci, kekuasaannya secara langsung berasal dari rakyat dan karenanya bertanggung jawab kepada mereka. [10]
4.      Noccolo Machiavelli (1469-1527)
Menurut kaum moralis, ia dicela sebagai guru politik yang mengajarkan muslihat, penipuan, dan penghianatan, serta kejahatan. Dia juga dianggap penggagas totalitarianism politik modern.
Niccolo Machiavelli lahir di Florence, Italia, 3 Mei 1469 dan meninggal pada 21 Juni 1527 saat ia berumur 58 tahun. Seorang ahli teori, utamanya dalam realitas teori politik, ia sangat disegani di Eropa semasa hidupnya. Tentu karena ia bukan hanya seorang pemikir, melainkan juga seorang praktisi politik. Machiavelli berpandanagn bahwa agama dan politik tidak boleh saling dikaitkan. Baginya, kekuasaan dan Negara hendaknya dipisahkan daari moralitas dan Tuhan. Kekuasaan sebagai tujuan bukan instrument untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas dan agama. Ia memang ahli dan filsuf politik pertama yang mendiskusikan fenomena social politik tanpa merujuk pada sumber-sumber etis ataupun hukum. Hal itu merupakan pendekatan dalam ilmu politik yang untuk pertama kalinya dalam sejarah ilmu dan teori politik bersifat murni ilmiah terhadap gereja kekuasaan. Dapat dikatakan bahwa pengaruh pemikirannya dipengaruhi oleh perkembangan politik yang dilihatnya.   [11]
5.      Jean Bodin (1530-1596)
Jean Bodin adalah seorang pengacara dan sarjana hukum dari Toulouse, yang pada 1551 datang di Paris dan tinggal di dekat istana. Dalam karyanya yang untuk masanya cukup aneh “Heptaplomeres” ditegaskan dalam karya itu bahwa tujuh organisasi gereja mendapat hak sepenuhnya untuk berdiri, asal saja mereka tidak melanggar undang-undang Negara. teori kedaulatan yang dibangun atas pemahamannya tentang Negara yang didefinisikan sebagai “pemerintahan yang tertata dengan baik dari beberapa keluarga serta kepentingan bersama mereka oleh kekuasaan yang berdaulat”. Bodin menganggap bahwa Negara mempunyai asal usulnya dalam kekuatan dan kekerasan. Disinilah, ia mengatakan bahwa elemen yang membedakan Negara dari semua bentuk asosiasi manusia yang lain adalah kedaulatan. [12]
6.      Hugo Grotius (1583-1645)
Hobbes dilahirkan di Malmesbury (Inggris) pada tahun 1588. Ia menuliskan dua buku yang membuatnya sangat terkenal sebagai pemikir politik, Negara, dan hukum, yaitu De Cive (tentang warga Negara) pada tahun 1642 dan Leviathan (1651). Bagi Hobbes keberadaan Negara itu seperti dia, yang memiliki kekuatan memaksa, menghukum, dan membuat orang harus patuh padanya. Oleh karenanya, Negara harus kuat sepertinya, tak boleh lemah. Jika Negara lemah , akan timbul konflik dan guncangan, anarki, perang sipil di dalam, dan membuat kekerasan tak mempu mengendalikan pertengkaran antara umat menusia yang memiliki kepentingan.  [13]
7.      Thomas Hobbes (1588-1679)
Locke dilahirkan di sekitar Bistol sebagai anak seorang sarjana hukum. Dibidang politik, Locke adalah pelopor banyak gagasan liberal yang pada masa selanjutnya, terutama di abad 18 berkembang pesat. Dialah pemikir pertama yang menggagas prinsip pembagian kekuasaan yang ditegaskan Montequieu. Locke melontarkan bahwa kekuasaan legislative dan eksekutif harus dipisahkan jika ingin menghindari terjadinya kezaliman kekuasaan. Untuk menciptakan undang-undang dan raja atau pemerintah harus menerapkannya. Dari situ Locke merupakan pemikir yang mencita-citakan persamaan karena antar-manusia merupakan hukum kodrat yang membedakan secara signifikan keadaan alamiah dan keadaan perang. Menurut Locke manusia ketika lahir memiliki kebebasan dan hak asasi. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) dan kekuasaan hukum adalah dua macam perjanjian masyarakat, yaitu mengacu pada perjanjian antar-individu untuk membentuk negara dan bersama-sama menyerahkan hak untuk mempertahankan kehidupan dan hak untuk menghukum yang bersumber dari alam. [14]
8.      John Locke (1632-1704
Ajaran Locke tentang negara mempunyai pengaruh yang sangat besar di berbagai belahan dunia. Konsep government by consent of the people (pemerintahan berdasarkan persetujuan rakyat) dan paham kepercayaan (trust) rakyat kepada pemerintah sebagai dasar legitimasinya termasuk paham-paham dasar ilmu politik modern. Kekuasaan tidak lagi dapat menghindari pertanggungjawaban dengan menggunakan argumen bahwa ia hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Dengan demikian, Locke mengaitkan kembali wewenang pemerintahan pada “delegation”, pada penyerahan pemerintahan itu oleh mereka yang diperintah. Locke membongkar dasar dari klaim raja bahwa kekuasaan mutlak dan tidak terbatas.
Kekuasaan politik, menurut Locke, adalah suatu keadaan alamiah (state of nature) yang di dalamnya terdapat hukum alam yang tidak lain adalah hukum Tuhan yang mengatur keadaan alamiah. Keadaan alamiah ini mendahului eksistensi negara. Dalam keadaan alamiah, manusia itu sama dalam pengertian bahwa semua memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan mereka. Manusia secara alamiah sebenarnya baik. Oleh karena itu, keadaan alamiah tampak sebagai “a state of peace, good will, mutual assistance, and preservation”. Hak dasar terpenting manusia adalah hak atas hidup dan hak untuk mempertahankan diri. Dengan demikian, manusia dalam keadaan alamiah sebenarnya sudah mengenal hubungan-hubungan sosial. Pandangan Locke yang sangat positif dalam memandang state of nature manusia ini sangat berbeda dengan pendahulunya, yakni Thomas Hobbes yang penuh curiga terhadap state of nature manusia.[15]
9.      Montesquieu (1689-1755)
Montesquieu menetapkan dua prinsip penting dalam teori politik. Pertama semua masyarakat bersandar pada solidatitas kepentingan, kedua adanya suatu masyarakat bebbas hanyalah di atas dasar penggabungan keutamaan warga negara, seperti Rebulik masa lampau.
Kedua, sejarah kebesaran dan ejatuhan Romawi (Considations on the greatness and decline of the Romans). Buku yang kedua ini adalah sebuah karangan pendek bersifat sementara yang diterbitkan di Belanda
tahun 1734, juga secara anonym. Namun, akhirnya bisa beradar secara bebas di Prancis. Walaupun buku ini kurang terkenal, pembahasannya tentang sejarah kekaisaran Romawi merupakan dokumen sejarah paling lengkap tentang masyarakat politik. Studinya tentang masalah ini membawanya pada konsep yang dikembangkan dalam The Spirit of Laws.
Ketiga, karya besar Montesquieu adalah semangat hukum (The Spirit of Laws). Tidak seperti dua karyanya terdahulu, pemikiran Montesquieu dalam The Spirit of Laws memberikan alternative-alternatif politik yang masuk akal, yaitu:
1. Hukum dan bentuk pemerintahan ditentukan oleh banyaknya orang yang berkuasa dan prinsip nilai yang digunakan.Pemerintahan dibagi menjadi tiga macam: republik, monarki, dan depotis.
2. Kondisi di atas mempengaruhi gagasannya tentang
Trias Politica yang memisahkan kekuasaan Negara dalam tiga bentuk kekuasaan (eksekutif, legistif, dan yudikatif).
3.
Dua factor utama yang membentuk watak masyarakat, yaitu secara fisik dan mental. Faktor moral juga berpengaruh penting terhadap agama, kebiasaan, ekonomi, dan perdagangan.
10.  Jean Jacques Rousseau (1712-1778)
1. State of nature manusia dalam pandangan Rousseau
Rousseau berpendapat bahwa manusia mempunyai keadaan alamiah atau keadaan azali dalam dirinya sebagai suatu individu yang bebas atau merdeka tanpa adanya suatu intervensi atau paksaan dari manapun . meskipun mempunyai kebebasan yang mutlak, manusia tidak ingin atau memiliki keinginan untuk menaklukan sesamanya karena manusia alamiah bersifat tidak baik maupun tidak buruk. Mereka hanya mencintai dirinya sendiri secara spontan dan berusaha untuk menjaga keselamatan dirinya dan memuaskan keinginan manusiawinya.
Menurut Rousseau, manusia abad pencerahan sudah mengubah dirinya menjadi manusia rasional. manusia rational hanya mementingkan faktor material untuk memenuhi kebutuhan dirinya. faktor-faktor non-materail berupa perasaan dan emosi mengalami pengikisan yang berakibat manusia seolah-olah hanya bergerak menurut rasionya saja.. Abad Pencerahan menurut Rousseau adalah abad pesimisme total. Pemikir-pemikir pencerahan, perkembangan teknologi dan sains menyebabkan dekadensi moral dan budaya. Akibatnya, manusia menjadi rakus dan tamak sehingga terjadi kerusakan dan penghancuran besar-besaran bagi keberlangsungan manusia, baik itu alam maupun manusianya sendiri. Oleh sebab itu, Rousseau berpikir bahwa manusia seharusnya kembali pada kehidupannya yang alamiah yang memiliki emosi dan perasaan untuk mencegah dan terhindar dari kehancuran total.[16]
11.  Hegel (1770-1831)
Filosofi Hegel ini sangat menerapkan dan mendiskripsikan demokrasi di tengah maraknya anti-demokrasi pada saat itu. Hegel ini sendiri bercermin dari apa peristiwa revolusi Perancis membuahkan tiga kunci utama filosofi Hegel yakni; Spirit, Freedom and Sociality (Klikauer 2012, 654). Hegel dalam filosofinya jelas menerangkan bahwa ketiga kata kunci tersebut sangat berkaitan erat dengan hak Individu. Hegel menerangkan konsep freedom atau kebebeasan yang ia tekankan bukan merupakan pilihan atau opsi yang diberikan oleh negara melainkan memang telah menjadi hak dari setiap Individu tersebut.
Bagi hegel, politik dikomplementasikan sebagai mode pikiran yang sifatnya absolut laiknya sebuah seni, filosofi, maupun agama. Penjabaran politik oleh Hegel sendiri tidak secara spesifik mengarah pada perjanjian-perjanjian politik, tetapi lebih kepada relasinya dengan berbagai isu-isu yang banyak berkembang.Selama masa ajaran di Berne, pemikiran Hegel banyak terpengaruh oleh pemikiran Immanuel Kant, atau yang lebih dikenal dengan filosofi Kantian, tentang semangat kebebasan. Baik dalam permasalahan ekonomi dan politik yang didalaminya, Hegel ‘menyerang’ sistem-sistem feodalisme beserta struktur oligarki di Bernese Administration yang menyerukan tentang persamaan hak individu. Sementara, dalam negara sendiri yang dianggap Hegel sebagai sebuah organ politik, tidak terdapat a pembagian kekuasaan, dimana penyerapan fungsi legislasi dan yudikasi berada dibawah otoritas eksekutif.[17]

BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Dari uraian diatas dapat kami simpulkan bahwa banyak pemikiran- pemikiran yang berpengaruh di zaman Yunani Kuno, Romawi Kuno, dan sebagainya, yang mempengaruhi pemikiran khususnya politik pada zaman sekarang ini.

B.     Saran
Dalam membuat makalah ini tentu penulis melakukan kesalahan yang tidak sengaja, untuk itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membantu demi perbaikan penyusunan makalah kedepannya.




















DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Ebyhara. 2010. Pengantar Ilmu Politik. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA
www.pemikiran politik John Locke.com
http://sociahttp://ikadevihardianti-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-83224-Pemikiran%20Politik%20Barat-Pemikiran%20Politik%20Hegel.html




[1]Abu Bakar Ebyhara, Ph. D,Pengantar Ilmu Politik,(Jogjakarta:AR-RUZZ MEDIA,2010), hlm. 92-94.
[2]Ibid., hlm. 94-98.
[3]Ibid., hlm.98-105.
[4]Ibid., hlm.106-109.
[5]Ibid., hlm . 113-115.  
[6]Ibid,. hlm.119-125.
[7]Ibid,. hlm.125-132.
[8] Ibid,.hlm.134-137.
[9] Ibid,.hlm.137-139.
[10] Ibid,.hlm.139-140.
[11]Ibid,.hlm.140-144.
[12]Ibid,.hlm.144-146.
[13]Ibid,.hlm.146-147.
[14]Ibid,.hlm.147-151.
[15]www.pemikiran politik John Locke.com
[16]http://socialpoliti.blogspot.com/2013/06/pemikiran-politik-jean-jasques-roussesau.html
[17] http://ikadevihardianti-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-83224-Pemikiran%20Politik%20Barat-Pemikiran%20Politik%20Hegel.html