KERAJAAN SUNDA
Tugas ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Indonesia Pra-Islam
Dosen pengampu: Drs. H. Maman A. Malik Sy., M.S.

Disusun oleh:
1.
Aminah
2.
Siti Fatimah
3.
Nafi’ Rotus Sholikah
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
1.
Pusat Kerajaan Sunda yang berpindah-pindah
Pusat kerajaan yang berpindah-pindah, bukanlah hal
yang asing di dalam perjalanan sejarah Indonesia. Pemindahan pusat-pusat
kerajaan itu, disebabkan oleh berbagai macam alasan, yaitu ekonomi, keamanan,
politik, dan lain-lain. Perpindahan itu juga disebabkan karena adanya bencana
alam. Di Jawa Barat juga terjadi beberapa kali perpindahan pusat kerajaan.
Barangkali, sebernarnya di Jawa Barat hanya terdapat sebuah kerajaan saja
setelah keruntuhan kerajaan Tarumanegara menjelang akhir abad VII M, sedangkan
nama-nama yang sekarang dianggap sebagai nama kerajaan adalah nama ibukota atau
pusat kerajaan tersebut.
A.
Pusat Kerajaan Galuh
Perlu kita ketahui bahwa masyarakat Sunda masa lampau
adalah masyarakat ladang yang senantiasa berpindah-pindah tempat sesuai dengan
tingkat kesuburan tanah garapan mereka, maka terjadinya perpindahan pusat
kerajaan ini pun, berhubungan dengan latar belakang sosial dan budaya. Jika
dugaan itu benar, maka kerajaan Sunda telah beberapa kali berpindah pusat
kerajaan yang dimulai dari Galuh dan berakhir di Pakwan Padjajaran.
Sebelum kita menyimpulkan apa gerangan nama kerajaan
di Jawa Barat, ada baiknya jika melihat sebutan apa yang dikenal di luar Jawa
Barat. Menurut berita Portugis yang berasal dari Tome Pires (1513), menyebut
kerajaan yang berkuasa di Jawa Barat dan mengadakan hubungan dagang dengan
Portugis “Regno de Cumba” yang
berarti kerajaan Sunda pada abad XVI. Demikian pula berita Antonio Pigafetta
(1522) yang memberitakan Sunda sebagai daerah yang banyak menghasilkan lada.
Juga dari beberapa sumber asli yang turut menyebutkan keberadaan kerajaan
Sunda, sumber asli tersebut antara lain, adalah prasasti Rakryan Juru Pangambat
tahun 932 M, ditemukan di desa Kebon Kopi Bogor, kutipannya yang berbunyi “memulihkan
raja Sunda”. Sumber kesusastraan, Cerita Parahyangan akhir abad XVI
menyebut Sunda sebagai nama kawasan. Demikian pula naskah Siksa Kanda ng
Karesian tahun 1518 M, juga berita dari Cina zaman Dinasti Ming ( 1368-1643 M)
menyebut adanya Sun-la. Dari bukti-bukti tersebut dapat disimpulkan
bahwa daerah Jawa Barat umumnya dikenal dengan nama Sunda. Sedang nama lain
yang berhubungan dengan daerah ini adalah nama pusat kerajaan.
Menurut naskah Kropak 406, Maharaja Terusbawa
digantikan oleh Maharaja Harisdarma kemudian Harisdarma berputra Rahyang
Tamperan lalu Rahyan Tamperan berputra Rahyang Banga. Dalam Cerita Parahyangan
disebutkan bahwa Rahyang Tamperan adalah anak Sanjaya maka dengan demikian,
tokoh Harisdarma pada K.406 adalah Sanjaya pada Cerita Parahyangan. Dari berita
itu dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara Harisdarma atau Sanjaya,
Tamperan, dan Banga adalah hubungan darah. Sedang hubungan antara Harisdarma
dengan Terusbawa adalah mertua dengan menantu. Terusbawa menurut K.406 ini
tidak lain adalah tokoh Tohaan di Sunda menurut Cerita Parahyangan yang
disebutkan menjadi mertua Sanjaya, Ia adalah penguasa Pakwan Padjajaran. Dan
berita ini dapat diartikan bahwa masa pendirian Pakwan Padjajaran kira-kira
sejaman dengan Galuh yaitu sekitar awal abad VIII M.
Pada tahun 723 M, ditemukan prasasti Canggal yang
menceritakan kemenangan Sanjaya. Prasasti ini berbahasa Sansekerta, selain
menyebut nama Sanjaya, prasasti ini juga menyebut Sanna dan Sannaha. Disebutkan
bahwa Sanjaya adalah anak Sannaha, saudara perempuan raja Sanna. Sanna adalah
anak Mandiminyak dari hubungan gelap dengan Pwah Rababu istri dari Rahyang
Sempakwaja. Rahyang Sempakwaja adalah kakak sulung Mandiminyak, raja Galuh.
Dari hubungan itu lahirlah Sanna, rupanya Mandiminyak dari pernikahannya dengan
sang permaisuri tidak memiliki putra mahkota lelaki, maka sepeninggal
Mandiminyak ia digantikan oleh Sanna. Sedangkan, Sannaha adalah anak dari
Mandiminyak dengan sang permaisuri. Dalam Cerita parahyangan disebutkan bahwa
Sanna menikah dengan Sannaha dan dari pernikahan itu lahirlah Sanjaya. Cerita
Parahyangan menghubungkan tokoh Sanjaya ini dengan pusat kerajaan Galuh, karena
disitu dikatakan bahwa Sanna berkuasa di Galuh. Pada suatu ketika, terjadi
rebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu raja
Sanna. Sanna bersama keluarganya dibuang ke gunung Merapi hingga Sanjaya dewasa
dan meminta perlindungan kepada saudara tua ayahnya di Denuh. Akhirnya Sanjaya
bisa mengalahkan Rahyang Purbasora, sehingga dapat mengangkat dirinya sebagai
raja di Galuh.
B.
Pusat kerajaan Pahajyan Sunda
Pada prasasti Sanghyang Tapak yang berbahasa Jawa Kuna
dan hurufnya Kawi tahun 1030 M. dalam prasasti ini, nama tokoh yang disebut
ialah Maharaja Sri Jayabhupati, sedangkan daerah kuasanya disebut Prahajyan
Sunda. Prasasti ini juga menarik, karena gelar yang dipergunakan Jayabhupati
ternyata sangat mirip dengan gelar raja Airlangga di Jawa Timur yang memerintah
pada masa yang bersamaan pula. Tetapi, berdasarkan bahasa dan isi prasastinya
itu sendiri, memang harus diakui bahwa tentulah ada hubungan tertentu antara
Jawa Barat dan Jawa Timur pada waktu tersebut. Pernyataan Sri Jayabhupati
berulangkali bahwa ia adalah “haji ri Sunda”, raja di Sunda, dapat
dianggap sebagai usahanya untuk lebih meyakinkan orang akan kedudukannya
sebagai raja Sunda. Prasasti berbahasa Sunda pada umumnya tidak memuat kutukan
yang demikian mengerikan, tetapi berisi harapan bagi mereka yang melakukan apa
yang dianjurkan dan memperoleh kebahagiaan, sedangkan yang melanggarnya,
celaka. Prasasti yang dikeluarkan oleh Jayabhupati sebenarnya disebabkan karena
ia sadar, dirinya adalah seorang yang berbudaya lain ditengah penduduknya yang
berbudaya Sunda. Prasasti itu menyebutkan, bahwa pada tahun 1030 M Jayabhupati
membuat tepek (semacam daerah larangan) di sebelah timur Sanghyang
Tapak. Daerah larangan itu berupa sebagian dari sungai yang kemudian ditutup
untuk segala macam penangkapan ikan. Sanghyang Tapak yang dimaksud pada
prasasti itu, diduga tapak kaki yang ditemukan trepahat pada batu di puncak
Gunung Perbakti, daerah Cicurug (Sukabumi).
Selanjutnya terbuka kemungkinan untuk menempatkan Sri
Jayabhupati dalam suatu rangkaian kisah sejarah Sunda sebagai suatu kesatuan.
Hal ini berarti bahwa prahajyan Sunda, kerajaan Sunda yang diperintah oleh Sri
Jayabhupati itu merupakan suatu babak saja dari seluruh kisah kerajaan Sunda,
jadi tidak merupakan suatu Negara atau kerajaan tersendiri. Menurut Cerita
Parahyangan Rakeyan Darmasiksa sama dengan tokoh Sri Jayabhupati pada
prasasti Sanghyang Tapak, maka dapat diduga bahwa pusat kerajaan Sunda pada
masa pemerintahan Jayabhupati terletak di Pakwan Padjajaran, pusat kerajaan itu
tidak lama kemudian berpindah lagi ke Kawali yang letaknya tidak jauh dari
bekas pusat kerajaan Galuh pada masa Sanjaya.
Ditemukannya prasasti Horren menyebutkan bahwa
penduduk kampung Horren merasa tidak aman karena ada kemungkinan datang musuh
dari Sunda. Menurut Stutterheim, diduga prasasti ini berasal dari jaman
Majapahit, maka sudah pasti prasasti itu berasal dari jaman setelah terjadinya
peristiwa Bubat pada tahun 1357.
C.
Pusat Kerajaan Kawali
Pada jaman siapa pusat pemerintahan berpindah dari
Pakwan Padjajaran ke Kawali, tidak dapat ditentukan dengan pasti. Menurut prasasti
yang ditemukan di kampung Astanagede (Kawali) dapat diketahui bahwa pada masa
pemerintahan Prabu Raja Wastu pusat kerajaan telah berada disitu. Dapat
diperoleh keterangan bahwa Prabu Raja Wastu yang bertahta di kota Kawali dengan
keratonnya bernama Surawisesa.
Prabu Raja Wastu pada prasasti Kawali ini merupakan
tokoh yang sama dengan Rahyang Niskala Wastu Kancana, pada prasasti Batutulis
dan Kebantenan yaitu kakek Sri Baduga Maharaja. Hal ini memberikan kemungkinan,
bahwa Prabu Wastu memerintah di Kawali setelah meninggal kemudian digantikan
oleh anaknya yang bernama Rahyang Ningrat Kencana pada prasasti Kebantenan
atau Rahyang Dewa Niskala pada prasasti Batutulis. Dalam prasasti Kebantenan
disebutkan bahwa Rahyang Ningrat Kencana adalah tokoh yang digantikan oleh
Susuhunan di Pakwan Padjajaran, hingga dapat ditentukan bahwa Susuhunan adalah
Sri Baduga Maharaja yang disebutkan dalam prasasti Batutulis.
Menurut prasasti Batutulis Rahyang Niskala
Wastu Kencana dimakamkan di Nusalarang, sedangkan Rahyang Dewa Niskala di
Gunatiga. Namun, berita ini bertentangan dengan Cerita Parahyangan yang
menyebutkan bahwa tokoh Dewa Niskala atau Ningrat Kencana ini tidak disebutkan
namanya, tetapi dikatakan sebagai Tohaan di Galuh. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa sampai pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan Sunda masih
terletak di Galuh tepatnya di sekitar kota kecil Kawali sekarang.
Menurut Pararaton, di tahun 1357 M terjadi peristiwa
yang dikenal dengan Pasundan-Bubat, suatu pertikaian politik antara kerajaan
Majapahit dan Sunda. Dari Cerita Parahyangan sudah jelas bahwa yang memerintah
ketika itu ialah Prebu Maharaja, karena dikatakan memerintah selama tujuh
tahun. dapat diperkirakan bahwa ia mulai menjadi raja pada tahun 1350 M,
bersamaan dengan naik tahtanya Hayam Wuruk di Majapahit. Dalam pertempuran
Bubat, hamper seluruh pasukan Sunda gugur. Cerita Parahyangan memberitakan
bahwa sang raja masih mempunyai seorang anak yang dikenal dengan Niskala Wastu
Kencana pada prasasti Kawali, Batutulis, dan Kebantenan. Ketika terjadi
peristiwa Bubat, Wastu Kencana masih kecil sehingga pemerintahannya sementara
diserahkan kepada pengasuhnya yaitu Hyang Bunisora.
Menurut Cerita Parahyangan dengan berpegang pada tahun
1579 yaitu tahun keruntuhan kerajaan Sunda, maka dapat ditentukan bahwa Hyang
Bunisora memerintah selama 14 tahun, bukan enam tahun. adanya selisih tahun ini
disebabkan karena perbedaan menafsirkan kata sadewisada yaitu lamanya masa
pemerintahan raja Sunda terakhir Nusiya Mulya, yang seharusnya 12 tahun,
menjadi 20 tahun. dengan demikian Hyang Bunisora memerintah pada 1357-1571 M.
Setelah dewasa Wastu Kencana menerima kembali tampuk pemerintahan
dari Hyang Bunisora. Ia memerintah cukup lama yaitu 104 tahun, hal ini
disebabkan karena Wastu Kencana selama memerintah selalu baik dalam menjalankan
agama, serta memperhatikan kesejahteraan rakyat. Dibandingkan pemberitaan
dengan raja-raja yang lain cukup menarik bahwa khusus tentang Prabu Niskala
Wastu Kencana dalam Cerita Parahyangan menyediakan cukup banyak tempat dan
isinya berupa pujian terhadap raja dan yang lain cukup satu atau dua kalimat
saja.
Prabu Niskala Wastu Kencana memerintah selama 104
tahun (1371-1471 M), kemudian digantikan anaknya yang bernama Tohaan di Galuh
ia memerintah selama tujuh tahun. ia memerintah tidak lama karena salah tindak
jatuh cinta kepada wanita terlarang dari luar.
D.
Pusat Kerajaan di Pakwan Padjajaran
Ningrat Kencana atau Tohaan di Sunda digantikan oleh
anaknya sendiri yaitu Sang Ratu Jayadewata menurut Cerita Parahyangan ia
memerintah selama 39 tahun. pada prasasti Kebantenan, tokoh ini disebut sebagai
Susuhunan di Pakwan Padjajaran. Dalam prasati Batutulis disebut dengan nama
Prabu Gurudewataprana, Sri Baduga maharaja Ratu Haji di Pakwan Padjajaran Sri
Sang Ratu Dewata. Nama yang terakhir ini boleh dikatakan sama dengan yang
sama-sama mengandung unsur dewata. Suatu hal yang menarik baik kraton Kawali
maupun kraton Pakwan Padjajaran sama-sama mengandung arti sura, suatu hal yang
masih dilanjutkan pada nama kraton Banten yaitu surasowan Surakarta atau
Jayakarta suatu tempat yang sebelum jatuh ke tangan Islam bernama Sunda Kelapa.
Menurut Cerita Parahyangan, Sang Ratu
Jayadewata menjalankan pemerintahannya berdasarkan kitab-kitab hukum yang
berlaku, sehingga pemerintahannya berjalan dengan aman dan tentram. Pada masanya
sudah ada penduduk kerajaan Sunda yang beralih agama. Berita Portugis yang
berasal dari Tome Pires (1513), di Cimanuk kota pelabuhan yang sekaligus
menjadi batas kerajaan Sunda disebelah timur banyak dijumpai orang Islam.
Tetapi menyebarnya pengaruh Islam ini sudah diperhitungkan juga oleh Ratu
Jayadewata.
Oleh berita Portugis pada tahun 1512 M dan 1521 M,
Ratu Samiam atau Sanghyang dari kerajaan Sunda memimpin perutusan ke Malaka.
Tetapi, ketika pada tahun 1522 M Hendrik de Leme memimpin perutusan Portugis ke
Sunda yang beribukota di Dayo (kota), Ratu Samiam sudah berkuasa disana sebagai
raja. Jika dikaitkan dengan Cerita Parahyangan, maka berarti bahwa Ratu Samiam
nama lain dari Prabu Surawisesa, seorang raja yang gagah dan berani, yang
menggantikan Sang Ratu Jayadewata dan memerintah selama 14 tahun (1521-1535 M).
Ketika Prabu Ratudewata naik takhta masa pemerintahannya merupakan masa yang
penuh derita.
Jatuhnya Sunda Kalapa, pelabuhan terbesar kerajaan
Sunda ke tangan pasukan Islam pada tahun 1527 M, telah menyebabkan terputusnya
hubungan antara pusat kerajaan Sunda yang terletak dipedalamn dengan daerah
luar. Bala bantuan Portugis tidak pernah bisa sampai ke Dayo karena keadaan
pada waktu itu tidak memungkinkan. Jalan niaga kerajaan Sunda satu-persatu
jatuh ketangan Islam, sehingga raja hanya bisa bertahan di pedalaman. Prabu
Ratu Dewata yang menggantikan Surawisesa, malah hidup sebagai raja pendeta dan
tidak menghiraukan kesejahteraan rakyatnya. Pada masa pemerintahannya terjadi
serangan-serangan yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Raja yang kemudian
menggantikannya Sang Ratu Saksi (1543-1551 M), adalah seorang yang kejam dan
Cuma main perempuan saja. Demikian pula penggantinya, Tohaan di Majaya
(1551-1567 M), ia malah memperindah keratin, mabuk-mabukan, berfoya-foya serta
melupakan tugasnya sebagai raja. Maka pada masa pemerintahan Nusya Mulya, raja
terakhir, Negara pun sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Kerajaan Sunda
dikalahkan oleh Islam pada akhir masa pemerintahannya.
2.
Struktur Kerajaan dan Birokrasi
Menurut catatan perjalanan Tome Pires dan sebuah
naskah yang berasal dari tahun 1518 M yaitu, Sanghyang Siksakanda ng
Karesian. Maka berdasarkan bahan-bahan yang ada itu, barangkali dapatlah
disusun struktur kerajaan Sunda pada masa itu sebagai berikut. Ditingkat pemerintahan
pusat, kekuasaan tertinggi berada di tangan raja. Dalam pelaksanaan tugasnya
sehari-hari, raja dibantu oleh mangkubumi yang membawai beberapa orang nu nangganan.
Disamping itu, terdapat pula putra mahkota, yang akan menggantikan kedudukan
sang raja, jika raja meninggal dunia atau mengundurkan diri untuk mengurus
daerah-daerah yang luas, raja dibantu oleh beberapa orang raja daerah.
Raja-raja daerah itu dalam melaksanakan tugas mereka sehari-hari bertindak
sebagai raja yang merdeka, tetapi mereka tetap mengakui raja sunda yang
bertahta di Pakwan Pajajaran atau Dayo sebagai junjungan mereka. Dalam keadaan
raja tidak meninggalkan pewaris tahta, maka salah seorang raja dari
daerah-daerah itu dapat dipilih untuk menggantikan kedudukan sang raja sebagai raja
besar dan bertahta di Pakwan Pajajaran. Sementara itu, untuk mengurus masalah
yang langsung berhubungan dengan perniagaan, dikeenam buah bandarnya, raja di
wakili oleh syah Bandar, yang bertindak untuk dan atas nama raja sunda di
daerah yang mereka kuasai masing-masing. Struktur kerajaan yang seperti itu,
rupanya yang paling sesuai dengan kodrat Kerajaan Sunda.
3.
Kehidupan
Masyarakat Sunda
A. Masyarakat Ladang
Menurut naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian, memberikan keterangan cukup
jelas tentang keadaan kelompok-kelompok masyarakat kerajaan Sunda pada masa itu. Keadaan
kelompok-kelompok itu tidak disebutkan berdasarkan katajenjang (hierarki) di
dalam sistem birokrasi pemerintahan, tetapi pembagiannya berdasarkan fungsi
yang dimiliki masing-masing kelompok itu, adanya kelompok ekonomi yang kemudian
terbagi lagi kedalam beberapa golongan. Golongan tersebut dapat dibedakan
seperti.
a).
Kelompok masyarakat berdasarkan ekonomi yaitu : orang
utas, pelukis, pandai tembaga, pandai mas, pandai gelang, pandai besi, pembuat
wayang, penabuh gamelan, pembuat
gamelan, penari, badut, dll.
b).
Kelompok masyarakat yang bertugas sebagai alat negara yaitu : mantri, penjaga
keamanan, prajurit, tentara, pemerang, dan jabatan dibawah mangkubumi.
c).
Kelompok rohani dan cendekiawan terdiri dari memen (dalang) yang mengetahui berbagai macam cerita, paraguna yang mengetahui berbagai macam
lagu dan nyanyian, hempul yang
mengetahui berbagai macam permainan, prepantun
yang mengetahui berbagai macam macam carita pantun.
Semua kelompok masyarakat yang
disebutkan diatas, di dalam melaksanakan darma atau tugas masing-masing sesuai
dengan fungsinya, disebut ngawakkan tapa
di nagara ( melaksanakan tapa ditengah negara). Pada masa kerajaaan Sunda
juga sudah terdapat orang-orang yang memperoleh penghasilan yang tidak disukai
masyarakat umumnya. Pekerjan itu antara lain
merogo, mencopet, merebut, merampas, memasuki rumah orang, dan membegal. Matapencarian seperti itu
disebut cekap carut, sesuatu yang
pantang diturut, dan hal-hal seperti itu disebut sebagai guru nista, yaitu hal-hal yang dianggap sangat nista atau hina.
Kerajaan Sunda adalah sebuah negara
yang umumnya hidup dari pertanian terutama dari perladangan. Bukti-bukti atau petunjuk
tentang masyarakat ladang
ini, ditemukan dalam sumber-sumber sastra tulis maupun sastra lisan. Kehidupan
diladang akan membentuk manusia ang
berwatak masyarakat ladang.
Ciri yang menonjol masyarakat ini ialah selalu berpindah tempat, yang secara
langsung turut memberi pengaruh terhadap bentuk bangunan tempat yang mereka
tinggali. Masyarakat lading biasanya bertempat tinggal di ladangnya
masing-masing, sehingga mereka hidup terpencil dari peladang lain yang menjadi
tetangganya. Kerajaan Sunda mempunyai enam buah Bandar yang cukup ramai dan
penting. Melalui keenam Bandar itulah dilakukan usaha niaga dengan daerah atau
negara lain. Barang-barang dagangan yang merupakan sumber penghasilan kerajaa
sunda pada umunya berupa bahan makanan dan lada. Bandar-bandar kerajaan sunda oleh Tome Pires
digambarkan sebagai berikut :
1
Banten ,
merupakan sebuah kota niaga yang baik, terletak di tepi sebuah sungai. Kota itu
dikepalai oleh seorang syahbandar. Wilayah niaganya mencapai Sumatra dan
Maladewa.
2
Pontang,
merupakan sebuah kota yang besar, jalur niaga dan barang-barang yang
diperdagangkan beras, makanan dan lada.
3
Cigede, juga
sebuah kota yang besar. Perniagaan dari Bandar ini dilakukan dengan Priaman,
Andalas, Tulangbawang, Sekampung dll.
4
Tamgara, yang
juga termasuk kota yang besar. Barang niaganya sama seperti Bandar-bandar
diata.
5
Kalapa,
merupakan kota yang sangat besar, adalah pelabuhan kerajaan Sunda yang
terpenting dan terbaik. Hubungan niaganya juga lebih luas, antara lain dengan
Sumatra, Palembang, Lawe, Tanjungpura, Malaka, Makasar, Jawa dan Madura.
6
Cimanuk,
merupakan pelabuhan kerajaan sunda yang paling timur, sekaligus menjadi batas
kerajaan. Walaupun Bandar ini dikatakan sebagai sebuah Bandar yang besar dan
cukup ramai, tetapi juga tidak dapat merapat. Di Bandar ini sudah banyak berdiam
orang-orang yang beragama islam,
walaupun syahbandarnya sendiri masih seorang yang beragama sunda.
Agama dan Budaya
Agama dan budaya yang berkembang di
kerajaan Sunda sangat identik dengan kebudayaan hindu. Pengaruh hindu ini
rupanya cukup kuat, sehingga di dalam naskah
sawakandarma yang juga disebut serat dewabuda yang berasal dari tahun 1357
kasa atau 1435 M, masih kita temukan nama-nama para dewa agama hindu seperti
Brahma, Wisnu, dan lain-lain. Menurut naskah
Sanghyang Siksa, pada masa kerajaan Sunda yang berlangsung sejak awal abad
8 hingga menjelang akhir abad ke 16 M,
kehidupan keagamaan kerajaan Sunda itu bercorak Hindu-Buddha yang telah berbaur
dengan unsur agama leluhur sebelumnya. Sementara hasil kebudayaan yang
berkembang pada masa itu diantaranya seni sastra, lukis, ukir, gamelan, dan
sebagainya.